Wednesday, February 18, 2009

Yang pertama

Yang Pertama



Namanya Tari. Adik tingkatku. Saat itu kami sedang penelitian di daerah Lembang Jawa Barat Bandung. Udara disana dingin sekali. Pukul 06.00 pagi saja kabut masih berkeliaran. Itu yang membuat kita terasa betah kalau ditemani wanita cantik seperti Tari. Kami penelitian tiga bulan lamanya.
Entah bagaimana mulanya, kami telah berkenalan. Erat sekali. Kemana-mana saja selalu berdua. Wah...pokoknya saat itu tidak ada kebahagiaan lagi selain berdua dengan Tari. Cantik. Lucu. Dan sebagainya.


Suatu hari, kami berdua berangkat ke daerah penelitian yang agak jauh dari rumah dimana kami tinggal. Berdua sajalah. Penelitian itu memakan waktu sampai malam hari. Tentu saja kami bingung untuk kembali ke tempat tinggal kami di lembang. Masalahnya Angkutan kotanya sudah tidak ada. Saat itu pukul 18.30. Yah....akhirnya kami berjalan mencari tempat untuk tinggal. Dimana saja.
"Eh...Ri, ntar gimana kalau rumah yang kita jumpai nanyain kita?" tanyaku sambil berjalan.


"Jawab aja kita suami istri lah. Kemaleman dijalan. Atau apa sajalah..."
"Alah...masa kita suami istri. Emangnya kita sudah menikah gitu?"
"Hihih....ya cari alasan lain lah... Yang penting sekarang kita cari rumah penduduk dululah. Oce?"


"Ocelah....sahutku" Lalu kami meneruskan perjalanan kami sambil bergandeng tanga. Halus juga tangan Tari. Sesekali kurangkul pinggangnya. Tari diam saja dan sepertinya tidak merasa reseh atau bagaimana....


Yah...wajarlah. Saya lelaki. Tentu kalau wanita yang dirangkul diam saja, tentu memberi kesempatan untuk melakukan yang lebih dari sekedar merangkul bukan? Saya pun seperti itu. Makin erat rangkulanku, hingga bagian samping tubuh Tari menyentuh bagian samping kanan tubuh saya. "Aaah...." kata Tari. "Jangan seperti inilah entar ketahuan orang lo....malu kan?" kata Tari sambil menjauhkan lagi tubuhnya. Tapi saya tetap merangkul pinggang Tari sambil berjalan terus. Padahal terus terang saya akui saat itu punyaku sudah super tegang. Herannya aku nggak kapok yah. Tanganku mulai nakal. Kutarik ke atas tanganku hingga dibawah ketiaknya. Kini tanganku berada tepat disamping toketnya yang besar dan lembut itu. Tari hanya melirik padaku sambil tersenyum saja. Gila.....digituin kok masih diem aja.


Memang saat itu dinginnya minta ampun. Tanganku yang berada dibawah ketiak Tari menjadi hangat. Dan selanjutnya aku remas toket Tari sekuatku. "Uuughh...." desah Tari sambil menggeliatkan tubuhnya. "Ntar aja kalau udah dikamar. Aku serahkan semuanya padamu Mas...." lanjut Tari. Aku semakin bergairah dan membayangkan sesuatu yang nikmat. Dan bertambah semangat mencari rumah penduduk disekitar daerah penelitianku.


Akhirnya setelah kurang lebih tiga puluh menit kami berjalan, didepan ada sebuah rumah yang lumayan besar. Setelah dekat, Yah....ternyata sebuah Losmen. Tari memandangku. Tampaknya meminta persetujuanku untuk memilih Losmen saja daripada rumah penduduk. Akhirnya ku anggukkan kepalaku tanpa berpikir panjang. Mungkin saat itu pikiranku dengan pikiran Tari sama, "Lebih baik di Losmen daripada di rumah penduduk. Lebih bebas. Iya nggak?"


Setelah registrasi untuk check in, kami pun dapat kamar nomor 12. Lumayan luas juga kamarnya. Satu tempat tidur ukuran besar, ada TV dan juga kamar mandi.
"Terimakasih..." kata Tari pada pelayan yang membawakan travel bag yang lumayan berat berisi peralatan untuk penelitian. Setelah itu Tari menutup pintu kamar. "Klek...."pintu kamar terkunci. Saat Tari membalikkan tubuhnya, langsung kuburu bibirnya dengan kecupan yang bertubi-tubi. Tari tidak berusaha untuk meronta walaupun sempat terkejut. Selanjutnya kami saling melumat bibir. Barangku sudah tegang banget. Aku peluk Tari sambil terus melumat bibirnya yang tipis dan seksi. Tari nggak kalah.


Tanganku mulai nakal lagi. Aku remas pantatnya. "Hmmmm....kenapa pantat" sahut Tari disela lumatan bibirnya. Sesaat kemudian Tari memegang kedua tanganku dan membimbingnya kearah ke arah toketnya yang sudah tegang juga. "Remas yang kencang seperti tadi ya....Mas..." kata Tari. Tanpa basa-basipun kuremas-remas dadanya yang membusung.


"Aaggh.... terus mas. Lebih keras." Kata Tari. Kami terus berciuman sampai kami tiba dibibir ranjang. Kami terhenti sejenak disitu sambil terus berciuman.
"Tari...masukkan tanganmu ke celanaku" sahutku. Sesaat kemudian Tari membuka ikat pinggangku dan membuka celanaku. Sungguh luar biasa tegangnya terpedoku. Tari memegang terpedoku.


"Besar sekali sayang...." sahut Tari dan selanjutnya meremas-remas dan mengocok punyaku. "Aaasghh....terusin Tar....." sahutku.
Kubuka semua baju Tari. Tari tidak menolak. BH-nya pun aku lepas, hingga saat itu Tari bertelanjang dada saja. Roknya belum sempat kulepas karena sibuk menekan dan meremas-remas dadanya yang putih itu. Sesekali kupijit putingnya.
Akhirnya kudorong Tari hingga terjembab diatas tempat tidur. Kupandangi sesaat tubuh Tari. Luar biasa indahnya. Putih dan mulus. Aku berjongkok dan kusingkap roknya. Selanjutnya ku tarik celana dalamnya yang berwarna pink. Tersembullah sesuatu yang baru aku lihat saat itu.


"Tar...besar sekali" sambil kuusap bukit berbulu itu yang mulai membasah. Kucium. Harum juga. Tadinya ragu-ragu, tapi kuberanikan diri untuk menjilati memek Tari. Tari hanya mengerang saja. Sampai pada saat klitorisnya kujilati, kini bukan hanya mengerang melainkan juga menggeliat kegelian dan juga nikmat.
"Aagggh... terusin Mas....Aasgggghh....sshht..." Tari menggepit kepalaku. Aku semakin genjar saja menjilatinya. Sampai pada beberapa saat kurasakan ada cairan hangat yang keluar dari bukit itu, tetap kujilat. Gurih juga. Setelah itu aku berdiri kembali. Kubuka bajuku dan kubuka rok Tari, saat itulah kami berdua telanjang.
"Jilati punyaku yah seperti tadi" kataku. " Biar tambah tegang" lanjutku kemudian menyerahkan terpedoku ke mulut Tari. Tari memasukkan terpedoku ke mulutnya. Lalu diisapnya sekuat-kuatnya. "Aggghh.... enak Tar....terusin" kataku sambil mengocoknya keluar masuk mulut Tari. Agghhh......
Tak berapa lama aku diam. Banyak diam ya... Maklumlah baru pertama. Tari juga begitu.


"Kamu siap Ri..." akhirnya. Tari tersenyum. Kedua tangannya memeras kedua buah dadanya sambil menggeliat. Pemandangan seperti itu membuatku bertambah bergairah. Akhirnya kurentangkan kaki Tari. Ku dekatkan terpedoku pada memeknya. Dan "blesek....." masuklah terpedoku menghujam memeknya yang basah.
"Aaahhh....sakit" rintih Tari menggeliat sambil terus meremas buah dadanya. Kudekatkan bibirku dan mencium bibir Tari yang menganga menahan jerit kesakita sambil kukocok terpedoku pelan. Sempit dan "kesed" juga. Saat kutarik terpedoku, terlihat terpedoku berwarna merah. Aku terkejut.
"Kamu perawan sayang...." sahutku. Tari mengangguk. "Aku cinta padamu Tari...." lalu kulumat kembali bibirnya. Tari membalasnya. Ciumanku beralih ke lehernya dan akhirnya pada puting kirinya. Kuisap sekuatnya "Agghhh.... nikmat mas. Satu lagi" bisik Tari. Kuisap lagi puting yang sebelah kanan. Tari menggeliat.
Sampai disitu terus kukocok terpedoku.


"Aaaggh....agghh...ssttt....terus mas. Lebih cepat Mas. Aku mau keluar lagi...." katanya. Kupercepat kocokanku. Makin lama makin cepat. "Agghh....nikmaat...aku....aku keluar mas aaaaahhhhh......" Tari menegang sesaat sambil meremas sprei lalu diam sesaat.
"Mas cairanku enak nggak rasanya?" tanya Tari.
"Gurih..."jawabku sambil kuteruskan kocokannya.
"Aku mau merasakan spermamu Mas. Maukan nanti mengeluarkannya didalam mulutku?"
Aku hanya tersenyum sambil terus mengocoknya. "Bret....bret..." suaranya bergesekan dengan memek Tari yang makin basah.
"Uuushhh.... aggghh.... terus Mas. Buat aku orgasma lagi.....terusin.....aggghh....nikmatnya."
Sesaat kemudian tubuh Tari menegang kembali. Dan terasa makin basah memeknya. Rupanya orgasma yang kedua kalinya. Bosan juga posisi seperti itu. Kuisap kedua putingnya lalu kubalikkan tubuh Tari. Kini ganti posisi seperti anjing. Kurentangkan sedikit kakinya. Dan aku mulai mengocok lagi.
"Buat aku puas malam ini Mas. Aku nggak ragu lagi. Terusin Mas. Habiskan malam ini dengan entotanmu Mas. Aku suka gaya entotanmu." Tidak kuhiraukan Tari dan terus mengocok.


Dan setelah dua puluh menit ada sesuatu yang akan keluar dari terpedoku "Ri...aku mau keluar" Lalu kubalikkan tubuh Tari hingga terlentang kembali. Kucopot terpedoku dan kukocok dengan kedua tanganku. Terpedoku diarahkan kemulut Tari. Tapi Tari memasukkan terpedoku kemulutnya. Mungkin ingin merasakan semua spermaku. Kukocok lebih cepat lagi dibantu dengan isapan mulut Tari. Dan....dan akhirnya "Cret....cret....." seluruh spermaku keluar...."Agggghhhhhhhh......." rintihku. Tari menghabiskan semua spermaku yang kukeluarkan. "Gurih...." bisiknya sambil terus mengisap terpedoku.


Tapi heran....kenapa terpedoku masih tegang? Tari memandang terpedoku "Mas kontolmu masih tegang....." sambil terus mengocok terpedoku "Aku suka Mas. Lakukan lagi Mas yah. Aku suka lelaki yang kuat entotannya...."
Dan akhirnya kami melakukan entotan lagi. Ah....menyenangkan sekali. Dua kali Tari menegang yang menandakan orgasme. Wah...berarti sudah empat kali. Dan ketiga kalinya barulah kami berdua orgasme berdua. Kukeluarkan spermaku didalam memek Tari.

"Hangat....." rintih Tari.
"Kutanamkan di rahimmu Ri. Kalau kamu hamil aku jadi suamimu. Kalau tidak hamil, setelah penelitian ini aku akan melamarmu...."sahutku.
Tari tersenyum lalu menarik tanganku hingga aku tertidur di atas tubuh Tari. Lalu bibirku dilumatnya.
Kata-kata terakhir yang terdengar dari mulut Tari hanya "Mas besok kita terusin lagi yah... Kalau malem Mas nggak tahan, bangunin Tari yah. Tari siap menerima entotan Mas lagi sampai pagi...." sahutnya.
Begitulah cerita. Sungguh luar biasa. Kami akhirnya sering melakukan entotan disaat yang memungkinkan. Dan losmen itu sering kami kunjungi kalau kami kemalaman dijalan lagi.
Ah....Tari aku cinta padamu sampai saat ini. Tapi dimana kamu sekarang. Aku rindu entotanmu sebab aku tidak pernah entotan dengan wanita lain selain dirimu. Aku rindu tari.

Lebih bergaul dan terhubung dengan lebih baik.
Tambah lebih banyak teman ke Yahoo! Messenger sekarang!

Pesta perawan

Dengan langkah ragu-ragu aku mendekati ruang dosen di mana Pak Hr berada.
“Winda…”, sebuah suara memanggil.
“Hei Ratna!”.
“Ngapain kau cari-cari dosen killer itu?”, Ratna itu bertanya heran.
“Tau nih, aku mau minta ujian susulan, sudah dua kali aku minta diundur terus, kenapa ya?”.
“Idih jahat banget!”.
“Makanya, aku takut nanti di raport merah, mata kuliah dia kan penting!, tauk nih, bentar ya aku masuk dulu!”.
“He-eh deh, sampai nanti!” Ratna berlalu.

Dengan memberanikan diri aku mengetuk pintu.
“Masuk…!”, Sebuah suara yang amat ditakutinya menyilakannya masuk.
“Selamat siang pak!”.
“Selamat siang, kamu siapa?”, tanyanya tanpa meninggalkan pekerjaan yang sedang dikerjakannya.
“Saya Winda…!”.
“Aku..? Oh, yang mau minta ujian lagi itu ya?”.
“Iya benar pak.”
“Saya tidak ada waktu, nanti hari Mminggu saja kamu datang ke rumah saya, ini kartu nama saya”, Katanya acuh tak acuh sambil menyerahkan kartu namanya.
“Ada lagi?” tanya dosen itu.
“Tidak pak, selamat siang!”
“Selamat siang!”.

Dengan lemas aku beranjak keluar dari ruangan itu. Kesal sekali rasanya, sudah belajar sampai larut malam, sampai di sini harus kembali lagi hari Minggu, huh!
Mungkin hanya akulah yang hari Minggu masih berjalan sambil membawa tas hendak kuliah. Hari ini aku harus memenuhi ujian susulan di rumah Pak Hr, dosen berengsek itu.

Rumah Pak Hr terletak di sebuah perumahan elite, di atas sebuah bukit, agak jauh dari rumah-rumah lainnya. Belum sempat memijit Bel pintu sudah terbuka, Seraut wajah yang sudah mulai tua tetapi tetap segar muncul.
“Ehh…! Winda, ayo masuk!”, sapa orang itu yang tak lain adalah pak Hr sendiri.
“Permisi pak! Ibu mana?”, tanyaku berbasa-basi.
“Ibu sedang pergi dengan anak-anak ke rumah neneknya!”, sahut pak Hr ramah.
“Sebentar ya…”, katanya lagi sambil masuk ke dalam ruangan.
Tumben tidak sepeti biasanya ketika mengajar di kelas, dosen ini terkenal paling killer.

Rumah Pak Hr tertata rapi. Dinding ruang tamunya bercat putih. Di sudut ruangan terdapat seperangkat lemari kaca temapat tersimpan berbagai barang hiasan porselin. Di tengahnya ada hamparan permadani berbulu, dan kursi sofa kelas satu.
“Gimana sudah siap?”, tanya pak Hr mengejutkan aku dari lamunannya.
“Eh sudah pak!”
“Sebenarnya…, sebenarnya Winda tidak perlu mengikuti ulang susulan kalau…, kalau…!”
“Kalau apa pak?”, aku bertanya tak mengerti. Belum habis bicaranya, Pak Hr sudah menuburuk tubuhku.
“Pak…, apa-apaan ini?”, tanyaku kaget sambil meronta mencoba melepaskan diri.
“Jangan berpura-pura Winda sayang, aku membutuhkannya dan kau membutuhkan nilai bukan, kau akan kululuskan asalkan mau melayani aku!”, sahut lelaki itu sambil berusaha menciumi bibirku.

Serentak Bulu kudukku berdiri. Geli, jijik…, namun detah dari mana asalnya perasaan hasrat menggebu-gebu juga kembali menyerangku. Ingin rasanya membiarkan lelaki tua ini berlaku semaunya atas diriku. Harus kuakui memang, walaupun dia lebih pantas jadi bapakku, namun sebenarnya lelaki tua ini sering membuatku berdebar-debar juga kalau sedang mengajar. Tapi aku tetap berusaha meronta-ronta, untuk menaikkan harga diriku di mata Pak Hr.
“Lepaskan…, Pak jangan hhmmpppff…!”, kata-kataku tidak terselesaikan karena terburu bibirku tersumbat mulut pak Hr.

Aku meronta dan berhasil melepaskan diri. Aku bangkit dan berlari menghindar. Namun entah mengapa aku justru berlari masuk ke sebuah kamar tidur. Kurapatkan tubuhku di sudut ruangan sambil mengatur kembali nafasku yang terengah-engah, entah mengapa birahiku sedemikian cepat naik. Seluruh wajahku terasa panas, kedua kakikupun terasa gemetar.

Pak Hr seperti diberi kesempatan emas. Ia berjalan memasuki kamar dan mengunci pintunya. Lalu dengan perlahan ia mendekatiku. Tubuhku bergetar hebat manakala lelaki tua itu mengulurkan tangannya untuk merengkuh diriku. Dengan sekali tarik aku jatuh ke pelukan Pak Hr, bibirku segera tersumbat bibir laki-laki tua itu. Terasa lidahnya yang kasap bermain menyapu telak di dalam mulutku. Perasaanku bercampur aduk jadi satu, benci, jijik bercampur dengan rasa ingin dicumbui yang semakin kuat hingga akhirnya akupun merasa sudah kepalang basah, hati kecilku juga menginginkannya. Terbayang olehku saat-saat aku dicumbui seperti itu oleh Aldy, entah sedang di mana dia sekarang. aku tidak menolak lagi. bahkan kini malah membalas dengan hangat.

Merasa mendapat angin kini tangan Pak Hr bahkan makin berani menelusup di balik blouse yang aku pakai, tidak berhenti di situ, terus menelup ke balik beha yang aku pakai.

Jantungku berdegup kencang ketika tangan laki-laki itu meremas-remas gundukan daging kenyal yang ada di dadaku dengan gemas. Terasa benar, telapak tangannya yang kasap di permukaan buah dadaku, ditingkahi dengan jari-jarinya yang nakal mepermainkan puting susuku. Gemas sekali nampaknya dia. Tangannya makin lama makin kasar bergerak di dadaku ke kanan dan ke kiri.

Setelah puas, dengan tidak sabaran tangannya mulai melucuti pakaian yang aku pakai satu demi satu hingga berceceran di lantai. Hingga akhirnya aku hanya memakai secarik G-string saja. Bergegas pula Pak Hr melucuti kaos oblong dan sarungnya. Di baliknya menyembul batang penis laki-laki itu yang telah menegang, sebesar lengan Bayi.

Tak terasa aku menjerit ngeri, aku belum pernah melihat alat vital lelaki sebesar itu. Aku sedikit ngeri. Bisa jebol milikku dimasuki benda itu. Namun aku tak dapat menyembunyikan kekagumanku. Seolah ada pesona tersendiri hingga pandangan mataku terus tertuju ke benda itu. Pak Hr berjalan mendekatiku, tangannya meraih kunciran rambutku dan menariknya hingga ikatannya lepas dan rambutku bebas tergerai sampai ke punggung.
“Kau Cantik sekali Winda…”, gumam pak Hr mengagumi kecantikanku.
Aku hanya tersenyum tersipu-sipu mendengar pujian itu.

Dengan lembut Pak Hr mendorong tubuhku sampai terduduk di pinggir kasur. Lalu ia menarik G-string, kain terakhir yang menutupi tubuhku dan dibuangnya ke lantai. Kini kami berdua telah telanjang bulat. Tanpa melepaskan kedua belah kakiku, bahkan dengan gemas ia mementangkan kedua belah pahaku lebar-lebar. Matanya benar-benar nanar memandang daerah di sekitar selangkanganku. Nafas laki-laki itu demikian memburu.

Tak lama kemudian Pak membenamkan kepalanya di situ. Mulut dan lidahnya menjilat-jilat penuh nafsu di sekitar kemaluanku yang tertutup rambut lebat itu. Aku memejamkan mata, oohh, indahnya, aku sungguh menikmatinya, sampai-sampai tubuhku dibuat menggelinjang-gelinjang kegelian.
“Pak…!”, rintihku memelas.
“Pak…, aku tak tahan lagi…!”, aku memelas sambil menggigit bibir. Sungguh aku tak tahan lagi mengalamai siksaan birahi yang dilancarkan Pak Hr. Namun rupanya lelaki tua itu tidak peduli, bahkan senang melihat aku dalam keadaan demikian. Ini terlihat dari gerakan tangannya yang kini bahkan terjulur ke atas meremas-remas payudaraku, tetapi tidak menyudahi perbuatannya. Padahal aku sudah kewalahan dan telah sangat basah kuyup.

“Paakk…, aakkhh…!”, aku mengerang keras, kakinya menjepit kepala Pak Hr melampiaskan derita birahiku, kujambak rambut Pak Hr keras-keras. Kini aku tak peduli lagi bahwa lelaki itu adalah dosen yang aku hormati. Sungguh lihai laki-laki ini membangkitkan gairahku. aku yakin dengan nafsunya yang sebesar itu dia tentu sangat berpengalaman dalam hal ini, bahkan sangat mungkin sudah puluhan atau ratusan mahasiswi yang sudah digaulinya. Tapi apa peduliku?

Tiba-tiba Pak Hr melepaskan diri, lalu ia berdiri di depanku yang masih terduduk di tepi ranjang dengan bagian bawah perutnya persis berada di depan wajahku. aku sudah tahu apa yang dia mau, namun tanpa sempat melakukannya sendiri, tangannya telah meraih kepalaku untuk dibawa mendekati kejantanannya yang aduh mak.., Sungguh besar itu.

Tanpa melawan sama sekali aku membuka mulut selebar-lebarnya, Lalu kukulum sekalian alat vital Pak Hr ke dalam mulutku hingga membuat lelaki itu melek merem keenakan. Benda itu hanya masuk bagian kepala dan sedikit batangnya saja ke dalam mulutku. Itupun sudah terasa penuh. Aku hampir sesak nafas dibuatnya. Aku pun bekerja keras, menghisap, mengulum serta mempermainkan batang itu keluar masuk ke dalam mulutku. Terasa benar kepala itu bergetar hebat setiap kali lidahku menyapu kepalanya.

Beberapa saat kemudian Pak Hr melepaskan diri, ia membaringkan aku di tempat tidur dan menyusul berbaring di sisiku, kaki kiriku diangkat disilangkan di pinggangnya. Lalu Ia berusaha memasuki tubuhku belakang. Ketika itu pula kepala penis Pak Hr yang besar itu menggesek clitoris di liang senggamaku hingga aku merintih kenikmatan. Ia terus berusaha menekankan miliknya ke dalam milikku yang memang sudah sangat basah. Pelahan-lahan benda itu meluncur masuk ke dalam milikku.

Dan ketika dengan kasar dia tiba-tiba menekankan miliknya seluruhnya amblas ke dalam diriku aku tak kuasa menahan diri untuk tidak memekik. Perasaan luar biasa bercampur sedikit pedih menguasai diriku, hingga badanku mengejang beberapa detik.

Pak Hr cukup mengerti keadaan diriku, ketika dia selesai masuk seluruhnya dia memberi kesempatan padaku untuk menguasai diri beberapa saat. Sebelum kemudian dia mulai menggoyangkan pinggulnya pelan-pelan kemudian makin lama makin cepat.

Aku sungguh tak kuasa untuk tidak merintih setiap Pak Hr menggerakkan tubuhnya, gesekan demi gesekan di dinding dalam liang senggamaku sungguh membuatku lupa ingatan. Pak Hr menyetubuhi aku dengan cara itu. Sementara bibirnya tak hentinya melumat bibir, tengkuk dan leherku, tangannya selalu meremas-remas payudaraku. Aku dapat merasakan puting susuku mulai mengeras, runcing dan kaku.

Aku bisa melihat bagaimana batang penis lelaki itu keluar masuk ke dalam liang kemaluanku. Aku selalu menahan nafas ketika benda itu menusuk ke dalam. Milikku hampir tidak dapat menampung ukuran Pak Hr yang super itu, dan ini makin membuat Pak Hr tergila-gila.

Tidak sampai di situ, beberapa menit kemudian Pak Hr membalik tubuhku hingga menungging di hadapannya. Ia ingin pakai doggy style rupanya. Tangan lelaki itu kini lebih leluasa meremas-remas kedua belah payudara aku yang kini menggantung berat ke bawah. Sebagai seorang wanita aku memiliki daya tahan alami dalam bersetubuh. Tapi bahkan kini aku kewalahan menghadapi Pak Hr. Laki-laki itu benar-benar luar biasa tenaganya. Sudah hampir setengah jam ia bertahan. Aku yang kini duduk mengangkangi tubuhnya hampir kehabisan nafas.

Kupacu terus goyangan pinggulku, karena aku merasa sebentar lagi aku akan memperolehnya. Terus…, terus…, aku tak peduli lagi dengan gerakanku yang brutal ataupun suaraku yang kadang-kadang memekik menahan rasa luar biasa itu. Dan ketika klimaks itu sampai, aku tak peduli lagi…, aku memekik keras sambil menjambak rambutnya. Dunia serasa berputar. Sekujur tubuhku mengejang. Sungguh hebat rasa yang kurasakan kali ini. Sungguh ironi memang, aku mendapatkan kenikmatan seperti ini bukan dengan orang yang aku sukai. Tapi masa bodohlah.

Berkali-kali kuusap keringat yang membasahi dahiku. Pak Hr kemudian kembali mengambil inisiatif. kini gantian Pak Hr yang menindihi tubuhku. Ia memacu keras untuk mencapai klimaks. Desah nafasnya mendengus-dengus seperti kuda liar, sementara goyangan pinggulnya pun semakin cepat dan kasar. Peluhnya sudah penuh membasahi sekujur tubuhnya dan tubuhku. Sementara kami terus berpacu. Sungguh hebat laki-laki ini. Walaupun sudah berumur tapi masih bertahan segitu lama. Bahkan mengalahkan semua cowok-cowok yang pernah tidur denganku, walaupun mereka rata-rata sebaya denganku.

Namun beberapa saat kemudian, Pak Hr mulai menggeram sambil mengeretakkan giginya. Tubuh lelaki tua itu bergetar hebat di atas tubuhku. Penisnya menyemburkan cairan kental yang hangat ke dalam liang kemaluanku dengan derasnya.

Beberapa saat kemudian, perlahan-lahan kami memisahkan diri. Kami terbaring kelelahan di atas kasur itu. Nafasku yang tinggal satu-satu bercampur dengan bunyi nafasnya yang berat. Kami masing-masing terdiam mengumpulkan tenaga kami yang sudah tercerai berai.

Aku sendiri terpejam sambil mencoba merasakan kenikmatan yang baru saja aku alami di sekujur tubuhku ini. Terasa benar ada cairan kental yang hangat perlahan-lahan meluncur masuk ke dalam liang vaginaku. Hangat dan sedikit gatal menggelitik.

Bagian bawah tubuhku itu terasa benar-benar banjir, basah kuyub. Aku menggerakkan tanganku untuk menyeka bibir bawahku itu dan tanganku pun langsung dipenuhi dengan cairan kental berwarna putih susu yang berlepotan di sana.

“Bukan main Winda, ternyata kau pun seperti kuda liar!” kata Pak Hr penuh kepuasan. Aku yang berbaring menelungkup di atas kasur hanya tersenyum lemah. aku sungguh sangat kelelahan, kupejamkan mataku untuk sejenak beristirahat. Persetan dengan tubuhku yang masih telanjang bulat.

Pak Hr kemudian bangkit berdiri, ia menyulut sebatang rokok. Lalu lelaki tua itu mulai mengenakan kembali pakaiannya. Aku pun dengan malas bangkit dan mengumpulkan pakaiannya yang berserakan di lantai.
Sambil berpakaian ia bertanya, “Bagaimana dengan ujian saya pak?”.
“Minggu depan kamu dapat mengambil hasilnya”, sahut laki-laki itu pendek.
“Kenapa tidak besok pagi saja?”, protes aku tak puas.
“Aku masih ingin bertemu kamu, selama seminggu ini aku minta agar kau tidak tidur dengan lelaki lain kecuali aku!”, jawab Pak Hr.

Aku sedikit terkejut dengan jawabannya itu. Tapi akupun segera dapat menguasai keadaanku. Rupanya dia belum puas dengan pelayanan habis-habisanku barusan.
“Aku tidak bisa janji!”, sahutku seenaknya sambil bangkit berdiri dan keluar dari kamar mencari kamar mandi. Pak Hr hanya mampu terbengong mendengar jawabanku yang seenaknya itu.

Aku sedang berjalan santai meninggalkan rumah pak Hr, ini pertemuanku yang ketiga dengan laki-laki itu demi menebus nilai ujianku yang selalu jeblok jika ujian dengan dia. Mungkin malah sengaja dibuat jeblok biar dia bisa main denganku. Dasar…, namun harus kuakui, dia laki-laki hebat, daya tahannya sungguh luar biasa jika dibandingkan dengan usianya yang hapir mencapai usia pensiun itu. Bahkan dari pagi hingga sore hari ini dia masih sanggup menggarapku tiga kali, sekali di ruang tengah begitu aku datang, dan dua kali di kamar tidur. Aku sempat terlelap sesudahnya beberapa jam sebelum membersihkan diri dan pulang. Berutung kali ini, aku bisa memaksanya menandatangani berkas ujian susulanku.

“Masih ada mata kuliah Pengantar Berorganisasi dan Kepemimpinan”, katanya sambil membubuhkan nilai A di berkas ujianku.
“Selama bapak masih bisa memberiku nilai A”, kataku pendek.
“Segeralah mendaftar, kuliah akan dimulai minggu depan!”.
“Terima kasih pak!” kataku sambil tak lupa memberikan senyum semanis mungkin.

“Winda!” teriakan seseorang mengejutkan lamunanku. Aku menoleh ke arah sumber suara tadi yang aku perkirakan berasal dari dalam mobil yang berjalan perlahan menghampiriku. Seseorang membuka pintu mobil itu, wajah yang sangat aku benci muncul dari balik pintu Mitsubishi Galant keluaran tahun terakhir itu.
“Masuklah Winda…”.
“Tidak, terima kasih. Aku bisa jalan sendiri koq!”, Aku masih mencoba menolak dengan halus.
“Ayolah, masa kau tega menolak ajakanku, padahal dengan pak Hr saja kau mau!”.

Aku tertegun sesaat, Bagai disambar petir di siang bolong.
“Da…,Darimana kau tahu?”.
“Nah, jadi benar kan…, padahal aku tadi hanya menduga-duga!”
“Sialan!”, Aku mengumpat di dalam hati, harusnya tadi aku bersikap lebih tenang, aku memang selalu nervous kalau ketemu cowok satu ini, rasanya ingin buru-buru pergi dari hadapannya dan tidak ingin melihat mukanya yang memang seram itu.

Seperti tipikal orang Indonesia bagian daerah paling timur, cowok ini hitam tinggi besar dengan postur sedikit gemuk, janggut dan cambang yang tidak pernah dirapikan dengan rambut keritingnya yang dipelihara panjang ditambah dengan caranya memakai kemeja yang tidak pernah dikancingkan dengan benar sehingga memamerkan dadanya yang penuh bulu. Dengan asesoris kalung, gelang dan cincin emas, arloji rolex yang dihiasi berlian…, cukup menunjukkan bahwa dia ini orang yang memang punya duit. Namun, aku menjadi muak dengan penampilan seperti itu.

Dino memang salah satu jawara di kampus, anak buahnya banyak dan dengan kekuatan uang serta gaya jawara seperti itu membuat dia menjadi salah satu momok yang paling menakutkan di lingkungan kampus. Dia itu mahasiswa lama, dan mungkin bahkan tidak pernah lulus, namun tidak ada orang yang berani mengusik keberadaannya di kamus, bahkan dari kalangan akademik sekalipun.
“Gimana? Masih tidak mau masuk?”, tanya dia setengah mendesak.

Aku tertegun sesaat, belum mau masuk. Aku memang sangat tidak menyukai laki-laki ini, Tetapi kelihatannya aku tidak punya pilihan lain, bisa-bisa semua orang tahu apa yang kuperbuat dengan pak Hr, dan aku sungguh-sungguh ingin menjaga rahasia ini, terutama terhadap Erwin, tunanganku. Namun saat ini aku benar benar terdesak dan ingin segera membiarkan masalah ini berlalu dariku. Makanya tanpa pikir panjang aku mengiyakan saja ajakannya.

Dino tertawa penuh kemenangan, ia lalu berbicara dengan orang yang berada di sebelahnya supaya berpindah ke jok belakang. Aku membanting pantatku ke kursi mobil depan, dan pemuda itu langsung menancap gas. Sambil nyengir kuda. Kesenangan.
“Ke mana kita?”, tanyaku hambar.
“Lho? Mestinya aku yang harus tanya, kau mau ke mana?”, tanya Dino pura-pura heran.
“Sudahlah Dino, tak usah berpura-pura lagi, kau mau apa?”, Suaraku sudah sedemikian pasrahnya. Aku sudah tidak mau berpikir panjang lagi untuk meminta dia menutup-nutupi perbuatanku. Orang yang duduk di belakangku tertawa.
“Rupanya dia cukup mengerti apa kemauanmu Dino!”, Dia berkomentar.
“Ah, diam kau Maki!” Rupanya orang itu namanya Maki, orang dengan penampilan hampir mirip dengan Dino kecuali rambutnya yang dipotong crew-cut.
“Bagaimana kalau ke rumahku saja? Aku sangat merindukanmu Winda!”, pancing Dino.
“Sesukamulah…!”, Aku tahu benar memang itu yang diinginkannya.
Dino tertawa penuh kemenangan.

Ia melarikan mobilnya makin kencang ke arah sebuah kompleks perumahan. Lalu mobil yang ditumpangi mereka memasuki pekarangan sebuah rumah yang cukup besar. Di pekarangan itu sudah ada 2 buah mobil lain, satu Mitsubishi Pajero dan satu lagi Toyota Great Corolla namun keduanya kelihatan diparkir sekenanya tak beraturan.

Interior depan rumah itu sederhana saja. Cuma satu stel sofa, sebuah rak perabotan pecah belah. Tak lebih. Dindingnya polos. Demikian juga tempok ruang tengah. Terasa betapa luas dan kosongnya ruangan tengah itu, meski sebuah bar dengan rak minuman beraneka ragam terdapat di sudut ruangan, menghadap ke taman samping. Sebuah stereo set terpasang di ujung bar. Tampaknya baru saja dimatikan dengan tergesa-gesa. Pitanya sebagian tergantung keluar.

Dari pintu samping kemudian muncul empat orang pemuda dan seorang gadis, yang jelas-jelas masih menggunakan seragam SMU. Mereka semua mengeluarkan suara setengah berbisik. Keempat orang laki-laki itu, tiga orang sepertinya sesuku dengan Dino atau sebangsanya, sedangkan yang satu lagi seperti bule dengan rambutnya yang gondrong. Sementara si gadis berperawakan tinggi langsing, berkulit putih dan rambutnya yang hitam lurus dan panjang tergerai sampai ke pinggang, ia memakai bandana lebar di kepalanya dengan poni tebal menutupi dahinya. Wajahnya yang oval dan bermata sipit menandakan bahwa ia keturunan Cina atau sebangsanya. Harus kuakui dia memang cantik, seperti bintang film drama Mandarin. Berbeda dengan penampilan ketiga laki-laki itu, gadis ini kelihatannya bukan merupakan gerombolan mereka, dilihat dari tampangnya yang masih lugu. Ia masih mengenakan seragam sebuah sekolah Katolik yang langsung bisa aku kenali karena memang khas. Namun entah mengapa dia bisa bergaul dengan orang-orang ini.

Dino bertepuk tangan. Kemudian memperkenalkan diriku dengan mereka. Yos, dan Bram seperti tipikal orang sebangsa Dino, Tito berbadan tambun dan yang bule namanya Marchell, sementara gadis SMU itu bernama Shelly. Mereka semua yang laki-laki memandang diriku dengan mata “lapar” membuat aku tanpa sadar menyilangkan tangan di depan dadaku, seolah-olah mereka bisa melihat tubuhku di balik pakaian yang aku kenakan ini.

Tampak tak sabaran Dino menarik diriku ke loteng. Langsung menuju sebuah kamar yang ada di ujung. Kamar itu tidak berdaun pintu, sebenarnya lebih tepat disebut ruang penyangga antara teras dengan kamar-kamar yang lain Sebab di salah satu ujungnya merupakan pintu tembusan ke ruang lain.

Di sana ada sebuah kasur yang terhampar begitu saja di lantai kamar. Dengan sprei yang sudah acak-acakan. Di sudut terdapat dua buah kursi sofa besar dan sebuah meja kaca yang mungil. Di bawahnya berserakan majalah-majalah yang cover depannya saja bisa membuat orang merinding. Bergambar perempuan-perempuan telanjang.

Aku sadar bahkan sangat sadar, apa yang dimaui Dino di kamar ini. Aku beranjak ke jendela. Menutup gordynnya hingga ruangan itu kelihatan sedikit gelap. Namun tak lama, karena kemudian Dino menyalakan lampu. Aku berputar membelakangi Dino, dan mulai melucuti pakaian yang aku kenakan. Dari blouse, kemudian rok bawahanku kubiarkan meluncur bebas ke mata kakiku. Kemudian aku memutar balik badanku berbalik menghadap Dino.

Betapa terkejutnya aku ketika aku berbalik, ternyata di hadapanku kini tidak hanya ada Dino, namun Maki juga sedang berdiri di situ sambil cengengesan. Dengan gerakan reflek, aku menyambar blouseku untuk menutupi tubuhku yang setengah telanjang. Melihat keterkejutanku, kedua laki-laki itu malah tertawa terbahak-bahak.
“Ayolah Winda, Toh engkau juga sudah sering memperlihatkan tubuh telanjangmu kepada beberapa laki-laki lain?”.
“Kurang ajar kau Dino!” Aku mengumpat sekenanya.
Wajah laki-laki itu berubah seketika, dari tertawa terbahak-bahak menjadi serius, sangat serius. Dengan tatapan yang sangat tajam dia berujar, “Apakah engkau punya pilihan lain? Ayolah, lakukan saja dan sesudah selesai kita boleh melupakan kejadian ini.”

Aku tertegun, melayani dua orang sekaligus belum pernah aku lakukan sebelumnya. Apalagi orang-orang yang bertampang seram seperti ini. Tapi seperti yang dia bilang, aku tak punya pilihan lain. Seribu satu pertimbangan berkecamuk di kepalaku hingga membuat aku pusing. Tubuhku tanpa sadar sampai gemetaran, terasa sekali lututku lemas sepertinya aku sudah kehabisan tenaga karena digilir mereka berdua, padahal mereka sama sekali belum memulainya.

Akhirnya, dengan sangat berat aku menggerakkan kedua tangan ke arah punggungku di mana aku bisa meraih kaitan BH yang aku pakai. Baju yang tadi aku pakai untuk menutupi bagian tubuhku dengan sendirinya terjatuh ke lantai. Dengan sekali sentakan halus BH-ku telah terlepas dan meluncur bebas dan sebelum terjatuh ke lantai kulemparkan benda itu ke arah Dino yang kemudian ditangkapnya dengan tangkas. Ia mencium bagian dalam mangkuk bra-ku dengan penuh perasaan.
“Harum!”, katanya.

Lalu ia seperti mencari-cari sesuatu dari benda itu, dan ketika ditemukannya ia berhenti.
“36B!”, katanya pendek.
Rupanya ia pingin tahu berapa ukuran dadaku ini.
“BH-nya saja sudah sedemikian harum, apalagi isinya!”, katanya seraya memberikan BH itu kepada Maki sehingga laki-laki itu juga ikut-ikutan menciumi benda itu. Namun demikian mata mereka tak pernah lepas menatap belahan payudaraku yang kini tidak tertutup apa-apa lagi.

Aku kini hanya berdiri menunggu, dan tanpa diminta Dino melangkah mendekatiku. Ia meraih kepalaku. Tangannya meraih kunciran rambut dan melepaskannya hingga rambutku kini tergerai bebas sampai ke punggung.
“Nah, dengan begini kau kelihatan lebih cantik!”

Ia terus berjalan memutari tubuhku dan memelukku dari belakang. Ia sibakkan rambutku dan memindahkannya ke depan lewat pundak sebelah kiriku, sehingga bagian punggung sampai ke tengkukku bebas tanpa penghalang. Lalu ia menjatuhkan ciumannya ke tengkuk belakangku. Lidahnya menjelajah di sekitar leher, tengkuk kemudian naik ke kuping dan menggelitik di sana. Kedua belah tangannya yang kekar dan berbulu yang tadi memeluk pinggangku kini mulai merayap naik dan mulai meremas-remas kedua belah payudaraku dengan gemas. Aku masih menanggapinya dengan dingin dengan tidak bereaksi sama sekali selain memejamkan mataku.

Dino rupanya tidak begitu suka aku bersikap pasif, dengan kasar ia menarik wajahku hingga bibirnya bisa melumat bibirku. Aku hanya berdiam diri saja tak memberikan reaksi. Sambil melumat, lidahnya mencari-cari dan berusaha masuk ke dalam mulutku, dan ketika berhasil lidahnya bergerak bebas menjilati lidahku hingga secara tak sengaja lidahkupun meronta-ronta.

Sambil memejamkan mata aku mencoba untuk menikmati perasaan itu dengan utuh. Tak ada gunanya aku menolak, hal itu akan membuatku lebih menderita lagi. Dengan kuluman lidah seperti itu, ditingkahi dengan remasan-remasan telapak tangannya di payudaraku sambil sekali-sekali ibu jari dan telunjuknya memilin-milin puting susuku, pertahananku akhirnya bobol juga. Memang, aku sudah sangat terbiasa dan sangat terbuai dengan permaian seperti ini hingga dengan mudahnya Dino mulai membangkitkan nafsuku. Bahkan kini aku mulai memberanikan menggerakkan tangan meremas kepala Dino yang berada di belakangku. Sementara dengan ekor mataku aku melihat Maki beranjak berjalan menuju sofa dan duduk di sana, sambil pandangan matanya tidak pernah lepas dari kami berdua.

Mungkin karena merasa sudah menguasai diriku, ciuman Dino terus merambat turun ke leherku, menghisapnya hingga aku menggelinjang. Lalu merosot lagi menelusup di balik ketiak dan merayap ke depan sampai akhirnya hinggap di salah satu pucuk bukit di dadaku, Dengan satu remasan yang gemas hingga membuat puting susuku melejit Dino untuk mengulumnya. Pertama lidahnya tepat menyapu pentilnya, lalu bergerak memutari seluruh daerah puting susuku sebelum mulutnya mengenyot habis puting susuku itu. Ia menghisapnya dengan gemas sampai pipinya kempot.

Tubuhku secara tiba-tiba bagaikan disengat listrik, terasa geli yang luar biasa bercampur sedikit nyeri di bagian itu. Aku menggelinjang, melenguh apalagi ketika puting susuku digigit-gigit perlahan oleh Dino. Buah anggur yang ranum itu dipermainkan pula dengan lidah Dino yang kasap. Dipilin-pilinnya kesana kemari. Dikecupinya, dan disedotnya kuat-kuat sampai putingnya menempel pada telaknya. Aku merintih. Tanganku refleks meremas dan menarik kepalanya sehingga semakin membenam di kedua gunung kembarku yang putih dan padat. Aku sungguh tak tahu mengapa harus begitu pasrah kepada lelaki itu. Mengapa aku justeru tenggelam dalam permaianan itu? Semula aku hanya merasa terpaksa demi menutupi rahasia atas perbuatanku. Tapi kemudian nyatanya, permainan yang Dino mainkan begitu dalam. Dan aneh sekali, Tanpa sadar aku mulai mengikuti permainan yang dipimpin dengan cemerlang oleh Dino.
“Winda…”, “Ya?”, “Kau suka aku perlakukan seperti ini?”. Aku hanya mengangguk. Dan memejamkan matanya. membiarkan payudaraku terus diremas-remas dan puting susunya dipilin perlahan. Aku menggeliat, merasakan nikmat yang luar biasa. Puting susu yang mungil itu hanya sebentar saja sudah berubah membengkak, keras dan mencuat semakin runcing.

“Hsss…, ah!”, Aku mendesah saat merasakan jari-jari tangan lelaki itu mulai menyusup ke balik celana dalamku dan merayap mencari liang yang ada di selangkanganku. Dan ketika menemukannya Jari-jari tangan itu mula-mula mengusap-usap permukaannya, terus mengusap-usap dan ketika sudah terasa basah jarinya mulai merayap masuk untuk kemudian menyentuh dinding-dinding dalam liang itu.

Dalam posisi masih berdiri berhadapan, sambil terus mencumbui payudaraku, Dino meneruskan aksinya di dalam liang gelap yang sudah basah itu. Makin lama makin dalam. Aku sendiri semakin menggelinjang tak karuan, kedua buah jari yang ada di dalam liang vaginaku itu bergerak-gerak dengan liar. Bahkan kadang-kadang mencoba merenggangkan liang vaginaku hingga menganga. Dan yang membuat aku tambah gila, ia menggerak-gerakkan jarinya keluar masuk ke dalam liang vaginaku seolah-olah sedang menyetubuhiku. Aku tak kuasa untuk menahan diri.

“Nggghh…!”, mulutku mulai meracau. Aku sungguh kewalahan dibuatnya hingga lututku terasa lemas hingga akhirnya akupun tak kuasa menahan tubuhku hingga merosot bersimpuh di lantai. Aku mencoba untuk mengatur nafasku yang terengah-engah. Aku sungguh tidak memperhatikan lagi yang kutahu kini tiba-tiba saja Dino telah berdiri telanjang bulat di hadapanku. Tubuhnya yang tinggi besar, hitam dan penuh bulu itu dengan angkuhnya berdiri mengangkang persis di depanku sehingga wajahku persis menghadap ke bagian selangkangannya. Disitu, aku melihat batang kejantanannya telah berdiri dengan tegaknya. Besar panjang kehitaman dengan bulu hitam yang lebat di daerah pangkalnya.

Dengan sekali rengkuh, ia meraih kepalaku untuk ditarik mendekati daerah di bawah perutnya itu. Aku tahu apa yang dimauinya, bahkan sangat tahu ini adalah perbuatan yang sangat disukai para lelaki. Di mana ketika aku melakukan oral seks terhadap kelaminnya.

Maka, dengan kepalang basah, kulakukan apa yang harus kulakukan. Benda itu telah masuk ke dalam mulutku dan menjadi permainan lidahku yang berputar mengitari ujung kepalanya yang bagaikan sebuah topi baja itu. Lalu berhenti ketika menemukan lubang yang berada persis di ujungnya. Lalu dengan segala kemampuanku aku mulai mengelomoh batang itu sambil kadang-kadang menghisapnya kuat-kuat sehingga pemiliknya bergetar hebat menahan rasa yang tak tertahankan.

Pada saat itu aku sempat melirik ke arah sofa di mana Maki berada, dan ternyata laki-laki ini sudah mulai terbawa nafsu menyaksikan perbuatan kami berdua. Buktinya, ia telah mengeluarkan batang kejantanannya dan mengocoknya naik turun sambil berkali-kali menelan ludah. Konsentrasiku buyar ketika Dino menarik kepalaku hingga menjauh dari selangkangannya. Ia lalu menarik tubuhku hingga telentang di atas kasur yang terhampar di situ. Lalu dengan cepat ia melucuti celana dalamku dan dibuangnya jauh-jauh seakan-akan ia takut aku akan memakainya kembali.

Untuk beberapa detik mata Dino nanar memandang bagian bawah tubuhku yang sudah tak tertutup apa-apa lagi. Si Makipun sampai berdiri mendekat ke arah kami berdua seakan ia tidak puas memandang kami dari kejauhan.

Namun beberapa detik kemudian, Dino mulai merenggangkan kedua belah pahaku lebar-lebar. Paha kiriku diangkatnya dan disangkutkan ke pundaknya. Lalu dengan tangannya yang sebelah lagi memegangi batang kejantanannya dan diusap-usapkan ke permukaan bibir vaginaku yang sudah sangat basah. Ada rasa geli menyerang di situ hingga aku menggelinjang dan memejamkan mata.

Sedetik kemudian, aku merasakan ada benda lonjong yang mulai menyeruak ke dalam liang vaginaku. Aku menahan nafas ketika terasa ada benda asing mulai menyeruak di situ. Seperti biasanya, aku tak kuasa untuk menahan jeritanku pada saat pertama kali ada kejantanan laki-laki menyeruak masuk ke dalam liang vaginaku.

Dengan perlahan namun pasti, kejantanan Dino meluncur masuk semakin dalam. Dan ketika sudah masuk setengahnya ia bahkan memasukkan sisanya dengan satu sentakan kasar hingga aku benar-benar berteriak karena terasa nyeri. Dan setelah itu, tanpa memberiku kesempatan untuk membiasakan diri dulu, Dino sudah bergoyang mencari kepuasannya sendiri.

Dino menggerak-gerakkan pinggulnya dengan kencang dan kasar menghunjam-hunjam ke dalam tubuhku hingga aku memekik keras setiap kali kejantanan Dino menyentak ke dalam. Pedih dan ngilu. Namun bercampur nikmat yang tak terkira. Ada sensasi aneh yang baru pertama kali kurasakan di mana di sela-sela rasa ngilu itu aku juga merasakan rasa nikmat yang tak terkira. Namun aku juga tidak bisa menguasai diriku lagi hingga aku sampai menangis menggebu-gebu, sakit keluhku setiap kali Dino menghunjam, tapi aku semakin mempererat pelukanku, Pedih, tapi aku juga tak bersedia Dino menyudahi perlakuannya terhadap diriku.

Aku semakin merintih. Air mataku meleleh keluar. kami terus bergulat dalam posisi demikian. Sampai tiba-tiba ada rasa nikmat yang luar biasa di sekujur tubuhku. Aku telah orgasme. Ya, orgasme bersama dengan orang yang aku benci. Tubuhku mengejang selama beberapa puluh detik. Sebelum melemas. Namun Dino rupanya belum selesai. Ia kini membalikkan tubuhku hingga kini aku bertumpu pada kedua telapak tangan dan kedua lututku. Ia ingin meneruskannya dengan doggy style. Aku hanya pasrah saja.

Kini ia menyetubuhiku dari belakang. Tangannya kini dengan leluasa berpindah-pindah dari pinggang, meremas pantat dan meremas payudaraku yang menggelantung berat ke bawah. Kini Dino bahkan lebih memperhebat serangannya. Ia bisa dengan leluasa menggoyangkan tubuhnya dengan cepat dan semakin kasar.

Pada saat itu tanpa terasa, Maki telah duduk mengangkang di depanku. Laki-laki ini juga telah telanjang bulat. Ia menyodorkan batang penisnya ke dalam mulutku, tangannya meraih kepalaku dan dengan setengah memaksa ia menjejalkan batang kejantanannya itu ke dalam mulutku.

Kini aku melayani dua orang sekaligus. Dino yang sedang menyetubuhiku dari belakang. Dan Maki yang sedang memaksaku melakukan oral seks terhadap dirinya. Dino kadang-kadang malah menyorongkan kepalanya ke depan untuk menikmati payudaraku. Aku mengerang pelan setiap kali ia menghisap puting susuku. Dengan dua orang yang mengeroyokku aku sungguh kewalahan hingga tidak bisa berbuat apa-apa. Malahan aku merasa sangat terangsang dengan posisi seperti ini.

Mereka menyetubuhiku dari dua arah, yang satu akan menyebabkan penis pada tubuh mereka yang berada di arah lainnya semakin menghunjam. Kadang-kadang aku hampir tersedak. Maki yang tampaknya mengerti kesulitanku mengalah dan hanya diam saja. Dino yang mengatur segala gerakan.

Perlahan-lahan kenikmatan yang tidak terlukiskan menjalar di sekujur tubuhku. Perasaan tidak berdaya saat bermain seks ternyata mengakibatkan diriku melambung di luar batas yang pernah kuperkirakan sebelumnya. Dan kembali tubuhku mengejang, deras dan tanpa henti. Aku mengalami orgasme yang datang dengan beruntun seperti tak berkesudahan.

Tidak lama kemudian Dino mengalami orgasme. Batang penisnya menyemprotkan air mani dengan deras ke dalam liang vaginaku. Benda itu menyentak-nyentak dengan hebat, seolah-olah ingin menjebol dinding vaginaku. Aku bisa merasakan air mani yang disemprotkannya banyak sekali, hingga sebagian meluap keluar meleleh di salah satu pahaku. Sesudah itu mereka berganti tempat. Maki mengambil alih perlakuan Dino. Masih dalam posisi doggy style. Batang kejantanannya dengan mulus meluncur masuk dalam sekali sampai menyentuh bibir rahimku. Ia bisa mudah melakukannya karena memang liang vaginaku sudah sangat licin dilumasi cairan yang keluar dari dalamnya dan sudah bercampur dengan air mani Dino yang sangat banyak. Permainan dilanjutkan. Aku kini tinggal melayani Maki seorang, karena Dino dengan nafas yang tersengal-sengal telah duduk telentang di atas sofa yang tadi diduduki Maki untuk mengumpulkan tenaga. Aku mengeluh pendek setiap kali Maki mendorong masuk miliknya. Maki terus memacu gerakkannya. Semakin lama semakin keras dan kasar hingga membuat aku merintih dan mengaduh tak berkesudahan.

Pada saat itu masuk Bram dan Tito bersamaan ke dalam ruangan. Tanpa basa-basi, mereka pun langsung melucuti pakaiannya hingga telanjang bulat. Lalu mereka duduk di lantai dan menonton adegan mesum yang sedang terjadi antara aku dan Maki. Bram nampak kelihatan tidak sabaran Tetapi aku sudah tidak peduli lagi. Maki terus memacu menggebu-gebu. Laki-laki itu sibuk memacu sambil meremasi payudaraku yang menggelantung berat ke bawah.

Sesaat kemudian tubuhku dibalikkan kembali telentang di atas kasur dan pada saat itu Bram dengan tangkas menyodorkan batang kejantanannya ke dalam mulutku. Aku sudah setengah sadar ketika Tito menggantikan Maki menggeluti tubuhku. Keadaanku sudah sedemikian acak-acakan. Rambut yang kusut masai. Tubuhku sudah bersimpah peluh. Tidak hanya keringat yang keluar dari tubuhku sendiri, tapi juga cucuran keringat dari para laki-laki yang bergantian menggauliku. Aku kini hanya telentang pasrah ditindihi tubuh gemuk Tito yang bergoyang-goyang di atasnya.

Laki-laki gemuk itu mengangkangkan kedua belah pahaku lebar-lebar sambil terus menghunjam-hunjamkan miliknya ke dalam milikku. Sementara Bram tak pernah memberiku kesempatan yang cukup untuk bernafas. Ia terus saja menjejal-jejalkan miliknya ke dalam mulutku. Aku sendiri sudah tidak bisa mengotrol diriku lagi. Guncangan demi guncangan yang diakibatkan oleh gerakan Titolah yang membuat Bram makin terangsang. Bukan lagi kuluman dan jilatan yang harusnya aku lakukan dengan lidah dan mulutku.

Dan ketika Tito melenguh panjang, ia mencapai orgasmenya dengan meremas kedua belah payudaraku kuat-kuat hingga aku berteriak mengaduh kesakitan. Lalu beberapa saat kemudian ia dengan nafasnya yang tersengal-sengal memisahkan diri dari diriku. Dan pada saat hampir bersamaan Bram juga mengerang keras. Batang kejantanannya yang masih berada di dalam mulutku bergerak liar dan menyemprotkan air maninya yang kental dan hangat. Aku meronta, ingin mengeluarkan banda itu dari dalam mulutku, namun tangan Bram yang kokoh tetap menahan kepalaku dan aku tak kuasa meronta lagi karena memang tenagaku sudah hampir habis. Cairan kental yang hangat itu akhirnya tertelan olehku. Banyak sekali. Bahkan sampai meluap keluar membasahi daerah sekitar bibirku sampai meleleh ke leher. Aku tak bisa berbuat apa-apa, selain dengan cepat mencoba menelan semua yang ada supaya tidak terlalu terasa di dalam mulutku. Aku memejamkan mata erat-erat, tubuhku mengejang melampiaskan rasa yang tidak karuan, geli, jijik, namun ada sensasi aneh yang luar biasa juga di dalam diriku. Sungguh sangat erotis merasakan siksa birahi semacam ini hingga akupun akhirnya orgasme panjang untuk ke sekian kalinya.

Dengan ekor mataku aku kembali melihat seseorang masuk ke ruangan yang ternyata si bule dan orang itu juga mulai membuka celananya. Aku menggigit bibir, dan mulai menangis terisak-isak. Aku hanya bisa memejamkan mata ketika Marchell mulai menindihi tubuhku. Pasrah.

Tidak lama kemudian setelah orang terakhir melaksanakan hasratnya pada diriku mereka keluar. aku merasa seluruh tubuhku luluh lantak. Setelah berhasil mengumpulkan cukup tenaga kembali, dengan terhuyung-huyung, aku bangkit dari tempat tidur, mengenakan pakaianku seadanya dan pergi mencari kamar mandi.

Aku berpapasan dengan Dino yang muncul dari dalam sebuah ruangan yang pintunya terbuka. Lelaki itu sedang sibuk mengancingkan retsluiting celananya. Masih sempat terlihat dari luar di dalam kamar itu, di atas tempat tidur tubuh Shelly yang telanjang sedang ditindihi oleh tubuh Maki yang bergerak-gerak cepat. Memacu naik turun. Gadis itu menggelinjang-gelinjang setiap kali Maki bergerak naik turun. Rupanya anak itu bernasib sama seperti diriku.
“Di mana aku bisa menemukan kamar mandi?” tanyaku pada Dino.
Tanpa menjawab, ia hanya menunjukkan tangannya ke sebuah pintu. Tanpa basa-basi lagi aku segera beranjak menuju pintu itu.

Di sana aku mandi berendam air panas sambil mengangis. Aku tidak tahu saya sudah terjerumus ke dalam apa kini. Yang membuat aku benci kepada diriku sendiri, walaupun aku merasa sedih, kesal, marah bercampur menjadi satu, namun demikian setiap kali teringat kejadian barusan, langsung saja selangkanganku basah lagi.

Aku berendam di sana sangat lama, mungkin lebih dari satu jam lamanya. Setelah terasa kepenatan tubuhku agak berkurang aku menyudahi mandiku. Dengan berjalan tertatih-tatih aku melangkah keluar kamar mandi dan berjalan mencari pintu keluar. Sudah hampir jam sebelas malam ketika aku keluar dari rumah itu.

Sampai di dalam rumah, Aku langsung ngeloyor masuk ke kamar. Aku tak peduli dengan kakakku yang terheran-heran melihat tingkah lakuku yang tidak biasa, aku tak menyapanya karena memang sudah tidak ada keinginan untuk berbicara lagi malam ini. Aku tumpahkan segala perasaan campur aduk itu, kekesalan, dan sakit hati dengan menangis.

Bersenang-senang di Yahoo! Messenger dengan semua teman
Tambahkan mereka dari email atau jaringan sosial Anda sekarang!

Keperawanan Rina

Aku adalah seorang mahasiswa tingkat akhir di perguruan tinggi di Bandung, dan sekarang sudah tingkat akhir. Untuk saat ini aku tidak mendapatkan mata kuliah lagi dan hanya mengerjakan skripsi saja. Oleh karena itu aku sering main ke tempat abangku di Jakarta.

Suatu hari aku ke Jakarta. Ketika aku sampai ke rumah kakakku, aku melihat ada tamu, rupanya ia adalah teman kuliah kakakku waktu dulu. Aku dikenalkan kakakku kepadanya. Rupanya ia sangat ramah kepadaku. Usianya 40 tahun dan sebut saja namanya Firman. Ia pun mengundangku untuk main ke rumahnya dan dikenalkan pada anak-istrinya. Istrinya, Dian, 7 tahun lebih muda darinya, dan putrinya, Rina, duduk di kelas 2 SMP.

Kalau aku ke Jakarta aku sering main ke rumahnya. Dan pada hari Senin, aku ditugaskan oleh Firman untuk menjaga putri dan rumahnya karena ia akan pergi ke Malang, ke rumah sakit untuk menjenguk saudara istrinya. Menurutnya sakit demam berdarah dan dirawat selama 3 hari. Oleh karena itu ia minta cuti di kantornya selama 1 minggu. Ia berangkat sama istrinya, sedangkan anaknya tidak ikut karena sekolah.

Setelah 3 hari di rumahnya, suatu kali aku pulang dari rumah kakakku, karena aku tidak ada kesibukan apapun dan aku pun menuju rumah Firman. Aku pun bersantai dan kemudian menyalakan VCD. Selesai satu film. Saat melihat rak, di bagian bawahnya kulihat beberapa VCD porno. Karena memang sendirian, aku pun menontonnya. Sebelum habis satu film, tiba-tiba terdengar pintu depan dibuka. Aku pun tergopoh-gopoh mematikan televisi dan menaruh pembungkus VCD di bawah karpet.

"Hallo, Oom Ryan..!" Rina yang baru masuk tersenyum. "Eh, tolong dong bayarin bajaj... uang Rina sepuluh-ribuan, abangnya nggak ada kembalinya."

Aku tersenyum mengangguk dan keluar membayarkan bajaj yang cuma dua ribu rupiah.

Saat aku masuk kembali.., pucatlah wajahku! Rina duduk di karpet di depan televisi, dan menyalakan kembali video porno yang sedang setengah jalan. Dia memandang kepadaku dan tertawa geli.

"Ih! Oom Ryan! Begitu to, caranya..? Rina sering diceritain temen-temen di sekolah, tapi belon pernah liat."

Gugup aku menjawab, "Rina... kamu nggak boleh nonton itu! Kamu belum cukup umur! Ayo, matiin."

"Aahhh, Oom Ryan. Jangan gitu, dong! Tuh liat... cuma begitu aja! Gambar yang dibawa temen Rina di sekolah lebih serem."

Tak tahu lagi apa yang harus kukatakan, dan khawatir kalau kularang Rina justru akan lapor pada orangtuanya, aku pun ke dapur membuat minum dan membiarkan Rina terus menonton. Dari dapur aku duduk-duduk di beranda belakang membaca majalah.

Sekitar jam 7 malam, aku keluar dan membeli makanan. Sekembalinya, di dalam rumah kulihat Rina sedang tengkurap di sofa mengerjakan PR, dan... astaga! Ia mengenakan daster yang pendek dan tipis. Tubuh mudanya yang sudah mulai matang terbayang jelas. Paha dan betisnya terlihat putih mulus, dan pantatnya membulat indah. Aku menelan ludah dan terus masuk menyiapkan makanan.

Setelah makanan siap, aku memanggil Rina. Dan.., sekali lagi astaga... jelas ia tidak memakai BH, karena puting susunya yang menjulang membayang di dasternya. Aku semakin gelisah karena penisku yang tadi sudah mulai "bergerak", sekarang benar-benar menegak dan mengganjal di celanaku.

Selesai makan, saat mencuci piring berdua di dapur, kami berdiri bersampingan, dan dari celah di dasternya, buah dadanya yang indah mengintip. Saat ia membungkuk, puting susunya yang merah muda kelihatan dari celah itu. Aku semakin gelisah. Selesai mencuci piring, kami berdua duduk di sofa di ruang keluarga.

"Oom, ayo tebak. Hitam, kecil, keringetan, apaan..?"

"Ah, gampang! Semut lagi push -up! Kan ada di tutup botol Fanta! Gantian... putih-biru-putih, kecil, keringetan, apa..?"

Rina mengernyit dan memberi beberapa tebakan yang semua kusalahkan.

"Yang bener... Rina pakai seragam sekolah, kepanasan di bajaj..!"

"Aahhh... Oom Ryan ngeledek..!"

Rina meloncat dari sofa dan berusaha mencubiti lenganku. Aku menghindar dan menangkis, tapi ia terus menyerang sambil tertawa, dan... tersandung!

Ia jatuh ke dalam pelukanku, membelakangiku. Lenganku merangkul dadanya, dan ia duduk tepat di atas batang kelelakianku! Kami terengah-engah dalam posisi itu. Bau bedak bayi dari kulitnya dan bau shampo rambutnya membuatku makin terangsang. Dan aku pun mulai menciumi lehernya. Rina mendongakkan kepala sambil memejamkan mata, dan tanganku pun mulai meremas kedua buah dadanya.

Nafas Rina makin terengah, dan tanganku pun masuk ke antara dua pahanya. Celana dalamnya sudah basah, dan jariku mengelus belahan yang membayang.

"Uuuhh... mmmhhh..." Rina menggelinjang.

Kesadaranku yang tinggal sedikit seolah memperingatkan bahwa yang sedang kucumbu adalah seorang gadis SMP, tapi gairahku sudah sampai ke ubun-ubun dan aku pun menarik lepas dasternya dari atas kepalanya. Aahhh..! Rina menelentang di sofa dengan tubuh hampir polos!

Aku segera mengulum puting susunya yang merah muda, berganti-ganti kiri dan kanan hingga dadanya basah mengkilap oleh ludahku. Tangan Rina yang mengelus belakang kepalaku dan erangannya yang tersendat membuatku makin tak sabar. Aku menarik lepas celana dalamnya, dan.. nampaklah bukit kemaluannya yang baru ditumbuhi rambut jarang. Bulu yang sedikit itu sudah nampak mengkilap oleh cairan kemaluan Rina. Aku pun segera membenamkan kepalaku ke tengah kedua pahanya.

"Ehhh... mmmaaahhh..," tangan Rina meremas sofa dan pinggulnya menggeletar ketika bibir kemaluannya kucium.

Sesekali lidahku berpindah ke perutnya dan mengemut perlahan.

"Ooohh... aduuhhh..," Rina mengangkat punggungnya ketika lidahku menyelinap di antara belahan kemaluannya yang masih begitu rapat.

Lidahku bergerak dari atas ke bawah dan bibir kemaluannya mulai membuka. Sesekali lidahku membelai kelentitnya dan tubuh Rina akan terlonjak dan nafas Rina seakan tersedak. Tanganku naik ke dadanya dan meremas kedua bukit dadanya. Putingnya sedikit membesar dan mengeras.

Ketika aku berhenti menjilat dan mengulum, Rina tergeletak terengah-engah, matanya terpejam. Tergesa aku membuka semua pakaianku, dan kemaluanku yang tegak teracung ke langit-langit, kubelai-belaikan di pipi Rina.

"Mmmhh... mmmhhh... ooohhhmmm..," ketika Rina membuka bibirnya, kujejalkan kepala kemaluanku.

Mungkin film tadi masih diingatnya, jadi ia pun mulai menyedot. Tanganku berganti-ganti meremas dadanya dan membelai kemaluannya.

Segera saja kemaluanku basah dan mengkilap. Tak tahan lagi, aku pun naik ke atas tubuh Rina dan bibirku melumat bibirnya. Aroma kemaluanku ada di mulut Rina dan aroma kemaluan Rina di mulutku, bertukar saat lidah kami saling membelit.

Dengan tangan, kugesek-gesekkan kepala kemaluanku ke celah di selangkangan Rina, dan sebentar kemudian kurasakan tangan Rina menekan pantatku dari belakang.

"Ohhmm, mam... masuk... hhh... masukin... Omm... hhh... ehekmm..."

Perlahan kemaluanku mulai menempel di bibir liang kemaluannya, dan Rina semakin mendesah-desah. Segera saja kepala kemaluanku kutekan, tetapi gagal saja karena tertahan sesuatu yang kenyal. Aku pun berpikir, apakah lubang sekecil ini akan dapat menampung kemaluanku yang besar ini. Terus terang saja, ukuran kemaluanku adalah panjang 15 cm, lebarnya 4,5 cm sedangkan Rina masih SMP dan ukuran lubang kemaluannya terlalu kecil.

Tetapi dengan dorongan nafsu yang besar, aku pun berusaha. Akhirnya usahaku pun berhasil. Dengan satu sentakan, tembuslah halangan itu. Rina memekik kecil, dahinya mengernyit menahan sakit. Kuku-kuku tangannya mencengkeram kulit punggungku. Aku menekan lagi, dan terasa ujung kemaluanku membentur dasar padahal baru 3/4 kemaluanku yang masuk. Lalu aku diam tidak bergerak, membiarkan otot-otot kemaluan Rina terbiasa dengan benda yang ada di dalamnya.

Sebentar kemudian kernyit di dahi Rina menghilang, dan aku pun mulai menarik dan menekankan pinggulku. Rina mengernyit lagi, tapi lama-kelamaan mulutnya menceracau.

"Aduhhh... ssshhh... iya... terusshh... mmmhhh... aduhhh... enak... Oommm..."

Aku merangkulkan kedua lenganku ke punggung Rina, lalu membalikkan kedua tubuh kami hingga Rina sekarang duduk di atas pinggulku. Nampak 3/4 kemaluanku menancap di kemaluannya. Tanpa perlu diajarkan, Rina segera menggerakkan pinggulnya, sementara jari-jariku berganti-ganti meremas dan menggosok dada, kelentit dan pinggulnya, dan kami pun berlomba mencapai puncak.

Lewat beberapa waktu, gerakan pinggul Rina makin menggila dan ia pun membungkukkan tubuhnya dan bibir kami berlumatan. Tangannya menjambak rambutku, dan akhirnya pinggulnya menyentak berhenti. Terasa cairan hangat membalur seluruh batang kemaluanku.

Setelah tubuh Rina melemas, aku mendorong ia telentang. Dan sambil menindihnya, aku mengejar puncakku sendiri. Ketika aku mencapai klimaks, Rina tentu merasakan siraman air maniku di liangnya, dan ia pun mengeluh lemas dan merasakan orgasmenya yang kedua.

Sekian lama kami diam terengah-engah, dan tubuh kami yang basah kuyup dengan keringat masih saling bergerak bergesekan, merasakan sisa-sisa kenikmatan orgasme.

"Aduh, Oom... Rina lemes. Tapi enak banget."

Aku hanya tersenyum sambil membelai rambutnya yang halus. Satu tanganku lagi ada di pinggulnya dan meremas-remas. Kupikir tubuhku yang lelah sudah terpuaskan, tapi segera kurasakan kemaluanku yang telah melemas bangkit kembali dijepit liang vagina Rina yang masih amat kencang.

Aku segera membawanya ke kamar mandi, membersihkan tubuh kami berdua dan... kembali ke kamar melanjutkan babak berikutnya. Sepanjang malam aku mencapai tiga kali lagi orgasme,dan Rina... entah berapa kali. Begitupun di saat bangun pagi, sekali lagi kami bergumul penuh kenikmatan sebelum akhirnya Rina kupaksa memakai seragam, sarapan dan berangkat ke sekolah.

Kembali ke rumah Firman, aku masuk ke kamar tidur tamu dan segera pulas kelelahan. Di tengah tidurku aku bermimpi seolah Rina pulang sekolah, masuk ke kamar dan membuka bajunya, lalu menarik lepas celanaku dan mengulum kemaluanku. Tapi segera saja aku sadar bahwa itu bukan mimpi, dan aku memandangi rambutnya yang tergerai yang bergerak-gerak mengikuti kepalanya yang naik-turun. Aku melihat keluar kamar dan kelihatan VCD menyala, dengan film yang kemarin. Ah! Merasakan caranya memberiku "blowjob", aku tahu bahwa ia baru saja belajar dari VCD.

Tamat

Istri teman lamaku

Kenalkan nama saya Anis, usia 40 tahun, berat badan 57 kg, rambut hitam lurus dengan warna kulit antara kehitaman dan kemerahan. Sejak kecil saa tergolong pendiam, kurang pergaulan dan pengalaman. Saya berasal dari keluarga yang hidup sederhana di suatu desa agak terpencil kurang lebih 3 km dari ibu kota kecamatanku. Saya dibesarkan oleh kedua orangtuaku dengan 5 saudara perempuanku. Jujur saja saya adalah suku B, yang ingin mengungkapkan pengalaman hidupku yang tergolong aneh seperti halnya teman-teman lainnya melalui cerita porno di internet.

Singkat cerita, setelah saya menikah dengan seorang perempuan pilihan orangtuaku, saya mencoba hidup mandiri bersama istri sebagai bentuk rasa tanggungjawab saya sebagai suami dan kepala rumah tangga, meskipun rasa cintaku pada istriku tersebut belum mendalam, namun tetap saya coba menerima kenyataan ini siapa tahu di kemudian hari saya kami bisa saling mencintai secara penuh, lagi pula memang saya belum pernah sama sekali jatuh cinta pada wanita manapun sebelumnya.

Kami coba mengadu nasib di kota Kabupatenku dengan mengontrak rumah yang sangat sederhana. Beberapa bidang usaha saya coba tekuni agar dapat menanggulangi keperluan hidup kami sehari-hari, namun hingga kami mempunyai 3 orang anak, nasib kami tetap belum banyak berubah. Kami masih hidup pas-pasan dan bahkan harapanku semula untuk mempertebal kecintaanku terhadap istriku malah justru semakin merosot saja. Untung saja, saya orangnya pemalu dan sedikit mampu bersabar serta terbiasa dalam penderitaan, sehingga perasaanku itu tidak pernah diketahui oleh siapapun termasuk kedua orangtua dan saudara-saudaraku.

Entah pengaruh setan dari mana, suatu waktu tepatnya Bulan Oktober 2003 aku sempatkan diri berkunjung ke rumah teman lamaku sewaktu kami sama-sama di SMA dulu. Sebut saja namanya Azis. Dia baru saja pulang dari Kalimantan bersama dengan istrinya, yang belakangan saya ketahui kalau istrinya itu adalah anak majikannya sewaktu dia bekerja di salah satu perusahaan swasta di sana. Mereka juga melangsungkan perkawinan bukan atas dasar saling mencintai, melainkan atas dasar jasa dan balas budi.

Sekitar pukul 17.00 sore, saya sudah tiba di rumah Azis dengan naik ojek yang jaraknya sekitar 1 km dari rumah kontrakan kami. Merekapun masih tinggal di rumah kontrakan, namun agak besar dibanding rumah yang kami kontrak. Maklum mereka sedikit membawa modal dengan harapan membuka usaha baru di kota Kabupaten kami. Setelah mengamati tanda-tanda yang telah diberitahukan Azis ketika kami ketemu di pasar sentral kota kami, saya yakin tidak salah lagi, lalu saya masuk mendekati pintu rumah itu, ternyata dalam keadaan tertutup.

"Dog.. Dog.. Dog.. Permisi ada orang di rumah" kalimat penghormatan yang saya ucapkan selama 3 kali berturut-turut sambil mengetuk-ngetuk pintunya, namun tetap tidak ada jawaban dari dalam. Saya lalu mencoba mendorong dari luar, ternyata pintunya terkunci dari dalam, sehingga saya yakin pasti ada orang di dalam rumah itu. Hanya saja saya masih ragu apakah rumah yang saya ketuk pintunya itu betul adalah rumah Azis atau bukan. Saya tetap berusaha untuk memastikannya. Setelah duduk sejenak di atas kursi yang ada di depan pintu, saya coba lagi ketuk-ketuk pintunya, namun tetap tidak ada tanda-tanda jawaban dari dalam. Akhirnya saya putuskan untuk mencoba mengintip dari samping rumah. Melalui sela-sela jendela di samping rumahnya itu, saya sekilas melihat ada kilatan cahaya dalam ruangan tamu, tapi saya belum mengetahui dari mana sumber kilatan cahaya itu. Saya lalu bergeser ke jendela yang satunya dan ternyata saya sempat menyaksikan sepotong tubuh tergeletak tanpa busana dari sebatas pinggul sampai ujung kaki. Entah potongan tubuh laki-laki atau wanita, tapi tampak putih mulus seperti kulit wanita.

Dalam keadaan biji mataku tetap kujepitkan pada sela jendela itu untuk melihat lebih jelas lagi keadaan dalam rumah itu, dibenak saya muncul tanda tanya apa itu tubuh istrinya Azis atau Azis sendiri atau orang lain. Apa orang itu tertidur pula sehingga tersingkap busananya atau memang sengaja telanjang bulat. Apa ia sedang menyaksikan acara TV atau sedang memutar VCD porno, sebab sedikit terdengar ada suara TV seolah film yang diputar. Pertanyaan-pertanyaan itulah yang selalu mengganggu pikiranku sampai akhirnya aku kembali ke depan pintu semula dan mencoba mengetuknya kembali. Namun baru saja sekali saya ketuk, pintunya tiba-tiba terbuka lebar, sehingga aku sedikit kaget dan lebih kaget lagi setelah menyaksikan bahwa yang berdiri di depan pintu adalah seorang wanita muda dan cantik dengan pakaian sedikit terbuka karena tubuhnya hanya ditutupi kain sarung. Itupun hanya bagian bawahnya saja.

"Selamat siang," kembali saya ulangi kalimat penghormatan itu.

"Ya, siang," jawabnya sambil menatap wajah saya seolah malu, takut dan kaget.

"Dari mana Pak dan cari siapa," tanya wanita itu.

"Maaf dik, numpang tanya, apa betul ini rumah Azis," tanya saya.

"Betul sekali pak, dari mana yah?" tanya wanita itu lemah lembut.

"Saya tinggal tidak jauh dari sini dik, saya ingin ketemu Azis. Beliau adalah teman lama saya sewaktu kami sama-sama duduk di SMA dulu," lanjut saya sambil menyodorkan tangan saya untuk menyalaminya. Wanita itu mebalasnya dan tangannya terasa lembut sekali namun sedikit hangat.

"Oh, yah, syukur kalau begitu. Ternyata ia punya teman lama di sini dan ia tak pernah ceritakan padaku," ucapannya sambil mempersilahkanku masuk. Sayapun langsung duduk di atas kursi plastik yang ada di ruang tamunya sambil memperhatikan keadaan dalam rumah itu, termasuk letak tempat tidur dan TVnya guna mencocokkan dugaanku sewaktu mengintip tadi

Setelah saya duduk, saya berniat menanyakan hubungannya dengan Azis, tapi ia nampak buru-buru masuk ke dalam, entah ia mau berpakaian atau mengambil suatu hidangan. Hanya berselang beberapa saat, wanita itu sudah keluar kembali dalam keadaan berpakaian setelah tadinya tidak memakai baju, bahkan ia membawa secangkir kopi dan kue lalu diletakkan di atas meja lalu mempersilahkanku mencicipinya sambil tersenyum.

"Maaf dik, kalau boleh saya tanya, apa adik ini saudara dengan Azis?" tanyaku penuh kekhawatiran kalau-kalau ia tersinggung, meskipun saya sejak tadi menduga kalau wanita itu adalah istri Azis.

"Saya kebetulan istrinya pak. Sejak 3 tahun lalu saya melangsungkan pernikahan di Kalimantan, namun Tuhan belum mengaruniai seorang anak," jawabnya dengan jujur, bahkan sempat ia cerita panjang lebar mengenai latar belakang perkawinannya, asal usulnya dan tujuannya ke Kota ini.

Setelah saya menyimak ulasannya mengenai dirinya dan kehidupannya bersama Azis, saya dapat mengambil kesimpulan bahwa wanita itu adalah suku di Kalimantan yang asal usul keturunannya juga berasal dari suku di Sulawesi. Ia kawin dengan Azis atas dasar jasa-jasa dan budi baik mereka tanpa didasari rasa cinta dan kasih sayang yang mendalam, seperti halnya yang menimpa keluarga saya. Ia tetap berusaha dan berjuang untuk menggali nilai-nilai cinta yang ada pada mereka berdua siapa tahu kelak bisa dibangun. Anehnya, meskipun kami baru ketemu, namun ia seolah ingin membeberkan segala keadaan hidup yang dialaminya bersama suami selama ini, bahkan terkesan kami akrab sekali, saling menukar pengalaman rahasia rumah tangga tanpa ada yang kami tutup-tupi. Lebih heran lagi, selaku orang pendiam dan kurang pergaulan, saya justru seolah menemukan diriku yang sebenarnya di rumah itu. Karena senang, bahagia dan asyiknya perbincangan kami berdua, sampai-sampai saya hampir lupa menanyakan ke mana suaminya saat ini. Setelah kami saling memahami kepribadian, maka akhirnya sayapun menanyakan Azis (suaminya itu).

"Oh yah, hampir lupa, ke mana Azis sekarang ini, kok dari tadi tidak kelihatan?" tanyaku sambil menyelidiki semua sudut rumah itu.

"Kebetulan ia pulang kampung untuk mengambil beras dari hasil panen orangtuanya tadi pagi, tapi katanya ia tidak bermalam kok, mungkin sebentar lagi ia datang. Tunggu saja sebentar," jawabnya seolah tidak menghendaki saya pulang dengan cepat hanya karena Azis tidak di rumah.

"Kalau ke kampung biasanya jam berapa tiba di sini," tanyaku lebih lanjut.

"Sekitar jam 8.00 atau 9.00 malam," jawabnya sambil menoleh ke jam dinding yang tergantung dalam ruangan itu. Padahal saat ini tanpa terasa jarum jam sudah menunjukkan pukul 7.00 malam.

Tak lama setelah itu, ia nampaknya buru-buru masuk ke ruang dapur, mungkin ia mau menyiapkan makan malam, tapi saya teriak dari luar kalau saya baru saja makan di rumah dan melarangnya ia repot-repot menyiapkan makan malam. Tapi ia tetap menyalakan kompornya lalu memasak seolah tak menginginkan aku kembali dengan cepat. Tak lama sesudah itu, iapun kembali duduk di depan saya melanjutkan perbincangannya. Sayapun tak kehabisan bahan untuk menemaninya. Mulai dari soal-soal pengalaman kami di kampung sewaktu kecil hingga soal rumah tangga kami masing-masing.

Karena nampaknya kami saling terbuka, maka sayapun berani menanyakan tentang apa yang dikerjakannya tadi, sampai lama sekali baru dibukakan pintu tanpa saya beritahu kalau saya mengintipnya tadi dari selah jendela. Kadang ia menatapku lalu tersenyum seolah ada sesuatu berita gembira yang ingin disampaikan padaku.

"Jadi bapak ini lama mengetuk pintu dan menunggu di luar tadi?" tanyanya sambil tertawa.
"Sekitar 30 menit barangkali, bahkan hampir saya pulang, tapi untung saya coba kembali mengetuk pintunya dengan keras," jawabku terus terang.
"Ha.. Ha.. Ha.. Saya ketiduran sewaktu nonton acara TV tadi," katanya dengan jujur sambil tertawa terbahak-bahak.
"Tapi bapak tidak sampai mengintip di samping rumah kan? Maklum kalau saya tertidur biasanya terbuka pakaianku tanpa terasa," tanyanya seolah mencurigaiku tadi. Dalam hati saya jangan-jangan ia sempat melihat dan merasa diintip tadi, tapi saya tidak boleh bertingkah yang mencurigakan.

"Ti.. Ti.. Dak mungkin saya lakukan itu dik, tapi emangnya kalau saya ngintip kenapa?" kataku terbata-bata, maklum saya tidak biasa bohong.

"Tidak masalah, cuma itu tadi, saya kalau tidur jarang pakai busana, terasa panas. Tapi perasaan saya mengatakan kalau ada orang tadi yang mengintipku lewat jendela sewaktu aku tidur. Makanya saya terbangun bersamaan dengan ketukan pintu bapak tadi," ulasnya curiga namun tetap ia ketawa-ketawa sambil memandangiku.

"M.. Mmaaf dik, sejujurnya saya sempat mengintip lewat sela jendela tadi berhubung saya terlalu lama mengetuk pintu tapi tidak ada jawaban. Jadi saya mengintip hanya untuk memastikan apa ada atau tidak ada orang di dalam tadi. Saya tidak punya maksud apa-apa," kataku dengan jujur, siapa tahu ia betul melihatku tadi, aku bisa dikatakan pembohong.

"Jadi apa yang bapak lihat tadi sewaktu mengintip ke dalam? Apa bapak sempat melihatku di atas tempat tidur dengan telanjang bulat?" tanyanya penuh selidik, meskipun ia masih tetap senyum-senyum.

"Saya tidak sempat melihat apa-apa di dalam kecuali hanya kilatan cahaya TV dan sepotong kaki," tegasku sekali lagi dengan terus terang.

"Tidak apa-apa, saya percaya ucapan bapak saja. Lagi pula sekiranya bapak melihatku dalam keadaan tanpa busana, bapak pasti tidak heran, dan bukan soal baru bagi bapak, karena apa yang ada dalam tubuh saya tentu sama dengan milik istri bapak, yah khan?" ulasnya penuh canda. Lalu ia berlari kecil masuk ke ruang dapur untuk memastikan apa nasi yang dimasaknya sudah matang atau belum.

Ke bagian 2



Waktu di jam dinding menunjukkan sudah pukul 8.00, namun Azis belum juga datang. Dalam hati kecilku, Jangan-jangan Azis mau bermalam di kampungnya, aku tidak mungkin bermalam berdua dengan istrinya di rumah ini. Saya lalu teriak minta pamit saja dengan alasan nanti besok saja ketemunya, tapi istri Azis berteriak melarangku dan katanya,

"Tunggu dulu pak, nasi yang saya masak buat bapak sudah matang. Kita makan bersama saja dulu, siapa tahu setelah makan Azis datang, khan belum juga larut malam, apalagi kita baru saja ketemu," katanya penuh harap agar aku tetap menunggu dan mau makan malam bersama di rumahnya.

Tak lama kemudian, iapun keluar memanggilku masuk ke ruang dapur untuk menikmati hidangan malamnya. Sambil makan, kamipun terlibat pembicaraan yang santai dan penuh canda, sehingga tanpa terasa saya sempat menghabiskan dua piring nasi tanpa saya ingat lagi kalau tadi saya bilang sudah kenyang dan baru saja makan di rumah. Malu sendiri rasanya.

"Bapak ini nampaknya masih muda. Mungkin tidak tepat jika aku panggil bapak khan? Sebaiknya aku panggil kak, abang atau Mas saja," ucapnya secara tiba-tiba ketika aku meneguk air minum, sehingga aku tidak sempat menghabiskan satu gelas karena terasa kenyang sekali. Apalagi saya mulai terayu atau tersanjung oleh seorang wanita muda yang baru saja kulihat sepotong tubuhnya yang mulus dan putih? Tidak, saya tidak boleh berpikir ke sana, apalagi wanita ini adalah istri teman lamaku, bahkan rasanya aku belum pernah berpikir macam-macam terhadap wanita lain sebelum ini. Aku kendalikan cepat pikiranku yang mulai miring. Siapa tahu ada setan yang memanfaatkannya.

"Bolehlah, apa saja panggilannya terhadapku saya terima semua, asalkan tidak mengejekku. Hitung-hitung sebagai panggilan adik sendiri," jawabku memberikan kebebasan.
"Terima kasih Kak atau Mas atas kesediaan dan keterbukaannya" balasnya.

Setelah selesai makan, aku lalu berjalan keluar sambil memandangi sudut-sudut ruangannya dan aku sempat mengalihkan perhatianku ke dalam kamar tidurnya di mana aku melihat tubuh terbaring tanpa busana tadi. Ternyata betul, wanita itulah tadi yang berbaring di atas tempat tidur itu, yang di depannya ada sebuah TV color kira-kira 21 inc. Jantungku tiba-tiba berdebar ketika aku melihat sebuah celana color tergeletak di sudut tempat tidur itu, sehingga aku sejenak membayangkan kalau wanita yang baru saja saya temani bicara dan makan bersama itu kemungkinan besar tidak pakai celana, apalagi yang saya lihat tadi mulai dari pinggul hingga ujung kaki tanpa busana. Namun pikiran itu saya coba buang jauh-jauh biar tidak mengganggu konsentrasiku.

Setelah aku duduk kembali di kursi tamu semula, tiba-tiba aku mendengar suara TV dari dalam, apalagi acaranya kedengaran sekali kalau itu yang main adalah film Angling Dharma yaitu film kegemaranku. Aku tidak berani masuk nonton di kamar itu tanpa dipanggil, meskipun aku ingin sekali nonton film itu. Bersamaan dengan puncak keinginanku, tiba-tiba,

"Kak, suka nggak nonton filmnya Angling Dharma?" teriaknya dari dalam kamar tidurnya.
"Wah, itu film kesukaanku, tapi sayangnya TV-nya dalam kamar," jawabku dengan cepat dan suara agak lantang.
"Masuk saja di sini kak, tidak apa-apa kok, lagi pula kita ini khan sudah seperti saudara dan sudah saling terbuka" katanya penuh harap.

Lalu saya bangkit dan masuk ke dalam kamar. Iapun persilahkan aku duduk di pinggir tempat tidur berdampingan dengannya. Aku agak malu dan takut rasanya, tapi juga mau sekali nonton film itu.
Awalnya kami biasa-biasa saja, hening dan serius nontonnya, tapi baru sekitar setengah jam acara itu berjalan, tiba-tiba ia menawarkan untuk nonton film dari VCD yang katanya lebih bagus dan lebih seru dari pada filmnya Angling Dharma, sehingga aku tidak menolaknya dan ingin juga menyaksikannya. Aku cemas dan khawatir kalau-kalau VCD yang ditawarkan itu bukan kesukaanku atau bukan yang kuharapkan.

Setelah ia masukkan kasetnya, iapun mundur dan kembali duduk tidak jauh dari tempat dudukku bahkan terkesan sedikit lebih rapat daripada sebelumnya. Gambarpun muncul dan terjadi perbincangan yang serius antara seorang pria dan seorang wanita Barat, sehingga aku tidak tahu maksud pembicaraan dalam film itu. Baru saja aku bermaksud meminta mengganti filmnya dengan film Angling Dharma tadi, tiba-tiba kedua insan dalam layar itu berpelukan dan berciuman, saling mengisap lidah, bercumbu rayu, menjilat mulai dari atas ke bawah, bahkan secara perlahan-lahan saling menelanjangi dan meraba, sampai akhirnya saya menatapnya dengan tajam sekali secara bergantian menjilati kemaluannya, yang membuat jantungku berdebar, tongkatku mulai tegang dan membesar, sekujur tubuhku gemetar dan berkeringat, lalu sedikit demi sedikit aku menoleh ke arah wanita disampingku yakni istri teman lamaku. Secara bersamaan iapun sempat menoleh ke arahku sambil tersenyum lalu mengalihkan pandangannya ke layar. Tentu aku tidak mampu lagi membendung birahiku sebagai pria normal, namun aku tetap takut dan malu mengutarakan isi hatiku.

"Mas, pak, suka nggak filmnya? Kalau nggak suka, biar kumatikan saja," tanyanya seolah memancingku ketika aku asyik menikmatinya.
"Iiyah, bolehlah, suka juga, kalau adik, memang sering nonton film gituan yah?" jawabku sedikit malu tapi mau dan suka sekali.
"Saya dari dulu sejak awal perkawinan kami, memang selalu putar film seperti itu, karena kami sama-sama menyukainya, lagi pula bisa menambah gairah sex kami dikala sulit memunculkannya, bahkan dapat menambah pengalaman berhubungan, syukur-syukur jika sebagian bisa dipraktekkan.
"Sungguh kami ketinggalan. Saya kurang pengalaman dalam hal itu, bahkan baru kali ini saya betul-betul bisa menyaksikan dengan tenang dan jelas film seperti itu. Apalagi istriku tidak suka nonton dan praktekkan macam-macam seperti di film itu," keteranganku terus terang.
"Tapi kakak suka nonton dan permainan seperti itu khan?" tanyanya lagi.
"Suka sekali dan kelihatannya nikmat sekali yach," kataku secara tegas.
"Jika istri kakak tidak suka dan tidak mau melakukan permainan seperti itu, bagaimana kalau aku tawarkan kerjasama untuk memperaktekkan hal seperti itu?" tanya istri teman lamaku secara tegas dan berani padaku sambil ia mendempetkan tubuhnya di tubuhku sehingga bisikannya terasa hangat nafasnya dipipiku.

Tanpa sempat lagi aku berfikir panjang, lalu aku mencoba merangkulnya sambil menganggukkan kepala pertanda setuju. Wanita itupun membalas pelukanku. Bahkan ia duluan mencium pipi dan bibirku, lalu ia masukkan lidahnya ke dalam mulutku sambil digerak-gerakkan ke kiri dan ke kanan, akupun membalasnya dengan lahap sekali. Aku memulai memasukkan tangan ke dalam bajunya mencari kedua payudaranya karena aku sama sekali sudah tidak mampu lagi menahan birahiku, lagi pula kedua benda kenyal itu saya sudah hafal tempatnya dan sudah sering memegangnya. Tapi kali ini, rasanya lain daripada yang lain, sedikit lebih mulus dan lebih keras dibanding milik istriku. Entah siapa yang membuka baju yang dikenakannya, tiba-tiba terbuka dengan lebar sehingga nampak kedua benda kenyal itu tergantung dengan menantang. Akupun memperaktekkan apa yang barusan kulihat dalam layar tadi yakni menjilat dan mengisap putingnya berkali-kali seolah aku mau mengeluarkan air dari dalamnya. Kadang kugigit sedikit dan kukunyah, namun wanita itu sedikit mendorong kepalaku sebagai tanda adanya rasa sakit.

Selama hidupku, baru kali ini aku melihat pemandangan yang indah sekali di antara kedua paha wanita itu. Karena tanpa kesulitan aku membuka sarung yang dikenakannya, langsung saja jatuh sendiri dan sesuai dugaanku semula ternyata memang tidak ada pelapis kemaluannya sama sekali sehingga aku sempat menatap sejenak kebersihan vagina wanita itu. Putih, mulus dan tanpa selembar bulupun tumbuh di atas gundukan itu membuat aku terpesona melihat dan merabanya, apalagi setelah aku memberanikan diri membuka kedua bibirnya dengan kedua tanganku, nampak benda kecil menonjol di antara kedua bibirnya dengan warna agak kemerahan. Ingin rasanya aku telan dan makan sekalian, untung bukan makanan, tapi sempat saya lahap dengan lidahku hingga sedalam-dalamnya sehingga wanita itu sedikit menjerit dan terengah-engah menahan rasa nikmatnya lidah saya, apalagi setelah aku menekannya dalam-dalam.

"Kak, aku buka saja semua pakaiannya yah, biar aku lebih leluasa menikmati seluruh tubuhmu," pintanya sambil membuka satu persatu pakaian yang kukenakan hingga aku telanjang bulat. Bahkan ia nampaknya lebih tidak tahan lagi berlama-lama memandangnya. Ia langsung serobot saja dan menjilati sekujur tubuhku, namun jilatannya lebih lama pada biji pelerku, sehingga pinggulku bergerak-gerak dibuatnya sebagai tanda kegelian. Lalu disusul dengan memasukkan penisku ke mulutnya dan menggocoknya dengan cepat dan berulang-ulang, sampai-sampai terasa spermaku mau muncrat. Untung saya tarik keluar cepat, lalu membaringkan ke atas tempat tidurnya dengan kaki tetap menjulang ke lantai biar aku lebih mudah melihat, dan menjamahnya. Setelah ia terkulai lemas di atas tempat tidur, akupun mengangkanginya sambil berdiri di depan gundukkan itu dan perlahan aku masukkan ujung penisku ke dalam vaginanya lalu menggerak-gerakkan ke kiri dan ke kanan maju dan mundur, akhirnya dapat masuk tanpa terlalu kesulitan.

"Dik, model yang bagaimana kita terapkan sekarang? Apa kita ikuti semua posisi yang ada di layar TV tadi," tanyaku berbisik.

"Terserah kak, aku serahkan sepenuhnya tubuhku ini pada kakak, mana yang kakak anggap lebih nikmat dan lebih berkesan sepanjang hayat serta lebih memuaskan kakak," katanya pasrah. Akupun meneruskan posisi tidur telentang tadi sambil aku berdiri menggocok terus, sehingga menimbulkan bunyi yang agak menambah gairah sexku.

"Ahh.. Uhh.. Ssstt.. Hmm.. Teeruus kak, enak sekali, gocok terus kakak, aku sangat menikmatinya," demikian pintanya sambil terengah dan berdesis seperti bunyi jangkrik di dalam kamarnya itu.

"Dik, gimana kalau saya berbaring dan adik mengangkangiku, biar adik lebih leluasa goyangannya," pintaku padanya.

"Aku ini sudah hampir memuncak dan sudah mulai lemas, tapi kalau itu permintaan kakak, bolehlah, aku masih bisa bertahan beberapa menit lagi," jawabnya seolah ingin memuaskanku malam itu.

Tanpa kami rasakan dan pikirkan lagi suaminya kembali malam itu, apalagi setelah jam menunjukkan pukul 9.30 malam itu, aku terus berusaha menumpahkan segalanya dan betul-betul ingin menikmati pengalaman bersejarah ini bersama dengan istri teman lamaku itu. Namun sayangnya, karena keasyikan dan keseriusan kami dalam bersetubuh malam itu, sehingga baru sekitar 3 menit berjalan dengan posisi saya di bawah dan dia di atas memompa serta menggoyang kiri kanan pinggulnya, akhirnya spermakupun tumpah dalam rahimnya dan diapun kurasakan bergetar seluruh tubuhnya pertanda juga memuncak gairah sexnya. Setelah sama-sama puas, kami saling berciuman, berangkulan, berjilatan tubuh dan tidur terlentang hingga pagi.

Setelah kami terbangun hampir bersamaan di pagi hari, saya langsung lompat dari tempat tidur, tiba-tiba muncul rasa takut yang mengecam dan pikiranku sangat kalut tidak tahu apa yang harus saya perbuat. Saya menyesal tapi ada keinginan untuk mengulanginya bersama dengan wanita itu. Untung malam itu suaminya tidak kembali dan kamipun berusaha masuk kamar mandi membersihkan diri. Walaupun terasa ada gairah baru lagi ingin mengulangi di dalam kamar mandi, namun rasa takutku lebih mengalahkan gairahku sehingga aku mengurungkan niatku itu dan langsung pamit dan sama-sama berjanji akan mengulanginya jika ada kesempatan. Saya keluar dari rumah tanpa ada orang lain yang melihatku sehingga saya yakin tidak ada yang mencurigaiku. Soal istriku di rumah, saya bisa buat alasan kalau saya ketemu dan bermalam bersama dengan sahabat lamaku, selesai.

*****

Bagi peminat dan penggemat cerita seperti ini, silahkan kontak kami, emailku anis_bonkah@telkom.net, kami pasti membalasnya, terutama bagi kaum wanita, karena kami senang tukar pengalaman dengan kaum wanita..

E N D

Hasil penelitianku bersama sri

ama saya adalah Anis yang tentunya sudah tidak asing lagi bagi teman-teman yang suka membaca cerita porno di situs sumbercerita.com, sebab saya termasuk anggota yang seringkali menyumbangkan cerita porno di situs ini. Namun kisah yang akan saya tawarkan untuk di muat kali ini adalah betul-betul pengalaman nyata yang baru saja 2 pekan lalu kualami.

*****

Ceritanya bermula ketika aku disodorkan sebuah judul skripsi atau thesis oleh seorang mahasiswi untuk dibantu penyusunannya dengan alasan ia sendiri punya keterbatasan untuk menyusunnya, baik karena kurang memiliki buku-buku rujukan maupun belum pengalaman menyusun, apalagi dengan ketikan komputer. Karenanya, lewat informasi dariteman-temannya, ia (sebut saja namanya Sri) datang ke rumahku menawarkan sebuah judul yang sudah diterima oleh ketua jurusannya untuk dibahas lebih lanjut.

Karena profesiku sehari-hari memang bergerak di bidang jasa pengetikan komputer dan penyusunan karya ilmiah, termasuk bimbingan penyusunan karya ilmiah, maka tentu aku berusaha untuk tidak menolak tawaran itu, meskipun waktu penyelesaian yang diberikan hanya seminggu. Tanpa pikir panjang, aku langsung menerima tawarannya dengan biaya yang tertera dalam formulir pesanan yang telah kusediakan.

Setelah selesai mengisi formulir pesanan yang kusodorkan, lalu kuamati identitas dan judul yang ditulisnya dalam formulir itu. Aku berpikir bahwa judul tersebut termasuk agak berat ringan, namun bisa diakali atau spekulasi, sebab menyangkut problem yang banyak dibicarakan oleh masmedia dewasa ini. Redaksi judulnya adalah "Perselingkuhan dan Dampaknya terhadap Keharmonisan Rumah Tangga". Buku-buku yang membahas tentang perselingkuhan, masih sangat terbatas di kota tempat tinggal kami (sebut saja kota Wp) yakni salah satu kota kabupaten di Sulsel.

"Wah berat sekali judulnya ini, bisa nggak mencari buku-buku rujukannya," kataku setelah membaca isi formuliar pesanan yang telah ia isi itu.
"Nanti kuusahakan cari buku rujukannya kak," janjinya.
"Tapi judul ini nampaknya perlu juga penelitian lapangan dik, karena menyangkut problem rumah tangga yang nggak sulit ditemukan faktanya di daerah kita ini. Lagi pula saya yakin buku rujukannya sangat terbatas, sehingga perlu ditunjang dengan hasil wawancara atau angket," alasanku.
"Jadi bagaimana caranya kak? Apa aku harus wawancara dengan mereka yang selingkuh?" tanya Sri sambil ketawa seolah ia malu melaksanakannya.

Dan memang harus dimaklumi karena ia masih tergolong gadis pemalu. Sri merupakan sosok wanita yang sedikit kalem, sikap dan penampilannya cukup sederhana. Tubuhnya langsing dengan wajah berseri-seri.

"Apa adik nggak mampu melakukannya atau malu?" tanyaku singkat.
"Aku sangat malu kak, palagi bicara soal rumah tangga, tentang selingkuh lagi, khan nggak enak rasanya kak" katanya terus terang.

Setelah kupikir dan pertimbangkannya, aku lalu menawarkan jalan lain.

"Gimana kalau anda beri surat kuasa padaku, biar aku yang wawancara sama teman atau orang lain yang kuketahui selingkuh," tawaranku padanya.
"Wah, malah itu jalan yang terbaik kak. Buat aja surat kuasanya kak, nanti kutandatangani. Soal biaya yang kakak keluarkan sehubungan dengan penelitian ini, aku siap tanggulangi semuanya asal bukan saya yang disuruh melakukannya," katanya seolah gembira sekali menyambutnya.
"Tapi terus terang aja dik, mungkin aku hanya minta kepada mereka agar bersedia menandatangani surat keterangan penelitiannya. Soal kejadian dan dampaknya, biar aku yang rekayasa kalimatnya," jelasku pada Sri.
"Nggak masalah kak. Yang penting karya ilmiahku bisa selesai dan ditandatangani oleh pembimbing serta aku bisa ikut ujian meja bersama teman-teman dalam waktu dekat ini," katanya pasrah padaku.

Saat itu pula aku langsung ketik suarat kuasanya lalu ditandatangani oleh Sri, kemudian ia minta izin pulang setelah aku mencatat Nomor telepon rumahnya. Setelah lima hari kemudian, aku sudah menyusun dengan matang konsep yang akan aku jalankan lebih lanjut. Aku hubungi dan minta agar Sri datang ke rumah pada pukul 19.00 wita guna membicarakan soal penyelesaian karya ilmiahnya. Sementara aku makan malam bersama keluarga, terdengarlah ada orang yang mengetuk pintu. Aku yakin itu pasti Sri. Istriku segera keluar membukakan pintu, ternyata betul Sri datang sebelum jam 19.00 wita. Mungkin ia anggap panggilanku itu sangat penting, apalagi menyangkut soal penyelesaian karya ilmiahnya.

"Silahkan duduk dik," kata istriku setelah Sri masuk.
"Langsung aja gabung di sini dik, kita makan sama-sama," teriakku dari dalam ruang makan.

Istriku tidak pernah curiga dan cemburu terhadap setiap wanita yang datang kerumah, karena tujuannya sangat jelas.

"Terima kasih kak. Teruskan aja makannya. Aku baru aja makan di rumah," teriak Sri dari luar setelah ia duduk di kursi tamu yang tersedia.
"Begini Sri, aku sengaja memanggilmu ke sini untuk membicarakan soal kesimpulan penelitian yang akan saya muat dalam karya ilmiah anda. Aku takut kerja dua kali. Jadi sebelum aku muat, aku mau minta tanggapan dan keputusanmu dulu," jelasku ketika aku selesai makan dan duduk berhadapan dengan Sri.

Sementara istriku masih sementara makan bersama dengan dua orang putraku. Kupikir mereka masih lama di ruang makan, sebab ia pasti meneruskannya dengan cuci piring, bikin air panas buat aku dan Sri. Masih banyak kesempatan yang bisa kami gunakan untuk bicara secara bebas tanpa mengundang kecurigaan dari istriku.

"Atur sajalah Kak mana baiknya. Aku serahkan penuh keputusannya semua pada kak, karena kakaklah yang lebih tahu mengenai hal ini semua," katanya pasrah, meskipun ia belum tahu niat dan spekulasiku memanggilnya.
"Sri, terus terang dik.. Ada sesuatu yang akan saya tawarkan padamu, tapi aku malu dan takut kamu tersinggung dan marah padaku," kataku pada Sri dengan suara sedikit pelan karena takut kedengaran istri.
"Katakan saja kak, aku nggak akan tersinggung kok, apalagi marah. Itu bukan watakku. Lagi pula kenapa mesti marah jika memang itu adalah kepentingan penyusunan karya ilmiahku. Aku siap bantu Kak sepanjang aku mampu," kata Sri tanpa ragu dan berpikir curiga atas maksudku.

Meskipun penuh keraguan, bahkan bisa beresiko buruk jika Sri tidak setuju, namun tetap aku beranikan diri menyampaikan niat bejatku.

"Bbbegini Dik Sri, maaf sekali lagi. Penelitian kita tidak boleh semua rekayasa dan mesti ada sedikit data pembuktian. Sementara aku sangat kesulitan mendapatkan bukti otentik, karena jarang sekali pria mau mengakui perselingkuhannya dan juga sulit ditemukan istri yang mau mengungkapkan secara jujur akibat yang dirasakannya dari perselingkuhan suaminya," paparku menjelaskan alasanku pada Sri.

Setelah terdiam, tunduk dan berpikir sejenak, maka Sri pun bertanya.

"Jadi kira-kira bagaimana baiknya Kak agar kesulitan Kak bisa teratasi"
"Rela nggak berkorban demi penyelesaian karya ilmiahnya dik?" tanyaku.
"Sepanjang aku mampu, tentu saja aku akan usahakan kak. Khan sudah berulang-ulang kali kukatakan pada kak," katanya sedikit tegas, namun entah apa ia tahu apa yang akan kuminta darinya atau sama sekali tidak terpikir olehnya.

Tapi nampaknya ia tidak ragu-ragu mengatakannya.

"Betul? Janji?" tanyaku tegas sambil mengulurkan tangan untuk salaman dengannya sebagai tanda perjanjian kami. Sri pun menyambut tanganku.
"Mumpung istriku masih di dalam Sri, kita bisa atur strateginya saat ini juga, sebab tawaranku ini sangat rahasia dan hanya kita berdua yang bisa ketahui," kataku sangat pelan dan hanya bisa didengar oleh Sri.

Setelah terdiam, tunduk dan berpikir sejenak, maka Sri pun bertanya.

"Jadi gimana caranya kak? Rahasia bagaimana yang Kak maksudkan. Katakan aja sekarang agar aku tidak penasaran untuk mendengarnya," desaknya.
"Aku akan menulis pertanyaan rahasia itu di komputer dan kamu menjawab langsung dengan kata 'ya' jika setuju dan 'tidak' jika tidak setuju ketika aku bertanya padamu begini?"
"Kamu harus pura-pura membacakan isi sebuah buku tentang kehidupan rumah tangga yang harmonis, sebab kebetulan judul buku itu ada di sini dan aku seolah-olah menulis apa yang kamu bacakan, meskipun sebenarnya yang kutulis di komputer nanti adalah sejumlah pertanyaan yang harus kamu jawab 'ya' atau 'tidak'" jelasku pada Sri meskipun ia tidak segera memahami maksudku, namun setelah aku menjelaskannya beberapa kali, akhirnya iapun mengerti.

Setelah kami sepakat untuk melakonkan sandiwara itu di depan komputer, kamipun saling terdiam tanpa saling memandang. Namun sikap kami itu tidak berlangsung lama sebab istriku tiba-tiba muncul membawa 2 cangkir air teh buat kami. Istriku tidak nampak ada rasa curiga pada kami, malah dia bercanda karena ia tidak sempat bikin kue buat Sri.

"Silahkan diminum dik, kebetulan nggak ada tulangnya nih," canda istriku.
"Terima kasih bu', aku merepotkan aja," kata Sri pada istriku.
"Silahkan diminum dulu dik, atau kita bawa aja masuk di kamar komputer sambil anda membacakan datanya biar proses penyusunannya agak cepat," kataku dengan suara yang sedikit besar agar didengar langsung oleh istriku yang sedang duduk di sampingku sambil aku berdiri membawa secangkir teh masuk ke kamar kerjaku dan disusul pula oleh Sri setelah minta izin sama istriku, bahkan istriku sendiri yang membawakan tehnya dan meletakkannya di atas meja komputer lalu minta izin pada kami untuk nonton acara TV Sinetron kesukaannya yakni Kehormatan di ruang dalam.

"Silahkan dibaca dik," kataku sengaja memperdengarkan istriku yang sedang berbaring di depan TV.

Sementara Sri duduk di kursi yang telah kusiapkan kurang lebih 50 cm di samping kananku dan aku sendiri duduk persis di depan layar komputer. Sri membaca isi buku yang dipegangnya kata demi kata layaknya orang yang mendiktekan, namun aku tidak menulis apa yang dibaca, melainkan aku mulai buat pertanyaan buat Sri.

"Begini tulisannya?" kataku seolah menulis apa yang dibaca itu, namun aku menuliskan pertanyaan bahwa "Apa anda siap duduk di situ hingga jam 10 malam?" tulisku di layar komputer.
"Ya," jawab Sri di sela-sela kalimat yang dibacanya.
"Begini?" tanyaku lagi sambil menulis pertanyaanku, "Anda bisa maju dan bergeser ke arahku agak lebih dekat lagi?"
"Ya," jawab Sri lagi sambil menggeser kursinya agak lebih dekat lagi.

Meskipun yang kedengaran dari mulutku hanya kata "begini", namun pertanyaan yang kuajukan ke Sri lewat layat komputer banyak sekali. Hampir semua pertanyaanku dijawab dengan kata "ya" oleh Sri, termasuk pertanyaanku tentang apa Sri sudah punya pacar, pernah jatuh cinta, pernah dirasakan belaian pria, pernah dipegang tangannya, rambutnya, wajahnya, pahanya, payudaranya oleh pacarnya. Bahkan Sri juga mengiyakan pertanyaanku soal cium mencium dengan pacarnya.

Namun ketika pertanyaanku mengarah lebih dalam lagi, terutama soal pernah tidur bersama dan bersetubuh dengan pacarnya, maka tiba-tiba ia jawab dengan kata tegas "Tidak". Komunikasi kami berjalan lancar meskipun yang kedengaran keluar dari mulutku hanya kata "begini atau begini tulisanya?", lalu dijawab oleh Sri dengan kata "ya atau tidak" hingga waktu tidak dirasa sudah menunjukkan pukul 9.30 malam.

Ke bagian 2 Setelah aku kehabisan bahan dan telah kukorek semua kepribadian Sri, aku lalu minta izin sama Sri untuk masuk buang air kecil sekaligus untuk memastikan keadaan istriku apa ia tidak mengintip atau mencurigai kami dalam kamar kerjaku, meskipun pintu ruanganku sengaja kubuka agar tidak ada rasa curiga dari istriku. Ternyata anak dan istrikut telah tertidur semua di depan TV, sebab kebiasannya memang suka tertidur ketika nonton. Aku sedikit lega dan merasa ada peluang untuk sedikit bereaksi bersama Sri setelah kuketahui kelemahannya. Karenanya, setelah buang air kecil, aku segera masuk dan duduk kembali seperti semula di samping kiri Sri, namun aku sengaja mendorong sedikit pintu agar tidak terlalu terbuka tanpa dilihat oleh Sri.

"Ayo kita lanjutkan sedikit Sri mumpung masih belum larut malam," kataku sambil sedikit bergeser ke arah kursi Sri.
"Begini Sri?" tanyaku dengan tekanan suara yang mulai rendah sambil memperlihatkan sebuah pertanyaan lagi dengan kalimat "Apa pacarmu pernah mengelus-elus pahamu?".
Sri lalu menjawab, "Ya". Namun ia sangat kaget dan tersentak sejenak ketika aku bertanya,
"Seperti ini?" sambil kupegang dan kuelus pahanya yang dilapisi celana panjangnya yang agak tipis dan halus kainnya.
"Yyya.. Ah.. Titidak" jawabnya seolah ketakutan.

Bahkan sempat bergeser dan bermaksud menjauh dariku ketika aku menulis pertanyaan, "Pernahkah pacar anda meremas payudaranya?" lalu kuperlihatkan Sri sambil berkata, "Begini Sri?" sambil aku berbalik menghadap padanya dan segera meremas kedua payudaranya dari luar bajunya.

Kali ini ia tidak melepas kedua tanganku dari payudaranya, tapi ia mencoba berdiri lalu menengok keluar ke arah istriku seolah ia hanya takut sama istriku.

"Tenang Sri, istri dan anak-anakku sedang tidur," bisikku pada Sri ketika ia mencoba menghindar dari perlakuanku, namun ia duduk kembali setelah melihat dengan jelas istriku sedang tidur pulas di depan TV melalui celah pintu yang sedikit terbuka.
"Kenapa harus sampai begini kak? Aku malu, takut dan tidak biasa diperlakukan seperti ini" tanyanya padaku dengan suara sedikit berbisik namun cukup mengerti kalau kami harus bertindak super hati-hati.
"Maaf dik, jika ini terpaksa harus kita lakukan di tempat ini, bukankah adik sendiri yang telah berjanji akan memberikan pengorbanan sesuai kemampuannya asal penyusunan karya ilmiahnya berjalan lancar?" kataku terus terang dan mengingatkan janjinya.
"Wah, ternyata Kak menafsirkan sampai ke situ. Aku nggak pernah berpikir sampai ke hal itu kak, tapi.. " katanya seolah tidak tahu arahku ke situ. Namun aku yakin ia tidak bakal menolak tindakanku lebih jauh karena Sri tiba-tiba berucap "tapi.." yang menandakan adanya peluangku lebih jauh.

Aku sudah berhenti membuat pertanyaan tertulis di layat komputer dan Sri pun meletakkan buku yang dibacanya sejak tadi. Kini kami saling berhadapan dan saling mengerti perasaan serta berkomunikasi langsung, namun suara kami sangat kecil, sehingga hanya kami berdua yang bisa mendengarnya. Kami tentu harus waspada dan takut ketahuan oleh istri jika tiba-tiba ia terbangun. Kami betul-betul berani memanfaatkan kesempatan yang beresiko dan sempit itu.

Sambil mengawasi terbangunnya istri yang sedang tidur, kami juga mengurangi bisikan dan komunikasi. Bahasa yang kami gunakan adalah mimik atau isyarat. Takut sekali bersuara. Tanganku mulai memegang paha Sri dari luar celananya, memegang kedua payudaranya yang terbungkus, merangkul dan mencium pipi lalu leher dan singga di bibirnya. Aku sedikit menikmati kecupan bibir Sri yang menyambut serangan bibir dan lidahku di mulut sampai rongga mulutnya.

"Sri, kita tidak boleh menunda-nunda permainan ini. Kita harus segera tuntaskan siapa tahu istri saya terbangun lalu heran kenapa nggak ada suara-suara kita seperti tadi. Ayo bantu aku dik," bisikku di telinga Sri ketika aku dan mungkin Sri juga terangsang, apalagi tiba-tiba diliputi rasa takut.
"Yah kak, aku takut sekali. Cepat-cepat selesaikan kak," balas Sri seolah menerima baik tindakanku ini.

Sri segera membuka 2 kancing bajunya untuk memberi kesempatan agar aku segera meremas susunya dan mengisap putingnya yang nampak tegang kecoklatan. Akupun tidak menyia-nyiakan kesempatan emas ini dan segera meraih bukit kembar yang putih mulus itu. Sangat mungil karena belum pernah dijamah oleh pria lain kecuali hanya pacarnya yang pernah meremasnya dari luar bajunya, apalagi usianya baru berkisar 20 tahun. Setelah aku puas menjilat, mengisap dan memainkan bukit kembarnya, tanganku berpindah ke bawah yang sudah mulai ada jalan masuk karena telah terbuka kasper celananya dari depan, sehingga tanganku dengan mudah meraba, mengelus dan menekan biji daging yang terasa bergetar-getar yang ada di antara kedua bibir bawahnya.

Karena sepakat akan menuntaskan seluruh permainan kami di kamar kerjaku itu, maka wajar jika kami saling membantu dan memudahkan terlaksananya hajat kami. Tanpa kuminta, Sripun merosot sedikit celananya hingga di atas lututnya. Aku tak sempat melihat apa Sri memakai celana dalam atau dilorit bersama celana panjangnya, tapi yang jelas paha mulus lagi putih itu terlihat dengan jelas, bahkan sampai ke batas pinggangnya. Namun Sri masih tetap dalam posisi duduk berhadapan denganku, sehingga aku sulit melihat dengan jelas barang mewah yang ada di selangkangannya tapi aku bisa meraba dan memainkannya dengan mudah. Mulutku akrab menempel di payudara kirinya, sementara tangan kiriku melekat di payudara kanannya dan tangan kananku tak mau pisah dengan sebuah daging yang tertancap pada dua bibir bawah di antara selangkangannya.

"Ssstt.. Aahh.. Khkh.. Cceepat Kak selesaikan, aku sudah nggak tahan nih," bisik Sri ditelingaku ketika aku semakin memainkan mulut dan tanganku pada kedua alat sensitifnya itu sambil berusaha menurunkan sedikit celananya hingga lutut.
"Sabar dik, aku nggak mau rasanya berhenti dan ingin menikmati sampai pagi," bisikku sambil mempercepat gerakan tangan dan mulutku.

Namun Sri mencubit pinggangku lalu ia segera berdiri dan kedua tangannya langsung membuka ikat pinggang berikut kait serta kasper celanaku dengan lincah sekali. Setelah terlepas, kedua tangannya segera menurunkan celanaku, namun sedikit tertahan karena aku masih duduk di atas kursi, tapi aku sangat mengerti sehingga aku mengangkat pantat untuk memudahkan ia menurunkan celanaku hingga lutut. Tanpa disentuh dan digocok, penisku dengan sendirinya berdiri mengacung bagaikan kepala ular berbisa yang mau mematuk mangsanya. Tanpa perintah atau komando, Sri tiba-tiba duduk di antara kedua pahaku dan meraih ujung penisku lalu mengarahkan ke lubang memeknya yang sedikit basah dan licin itu, lalu merangkul leherku. Ia mulai menggoyang sedikit pinggulnya ke kiri dan kekanan agar penisku dapat dengan mudah masuk ke lubang sasarannya, namun agak sulit. Selain karena vagina Sri ditumbuhi bulu hitam yang cukup lebat, juga memeknya kuyakini belum terbiasa dimasuki benda tumpul seperti yang kami usahakan masuk saat ini.

Aku mencoba membantu untuk memasukkannya dengan memegang penisku serta membuka kedua bibir memeknya dengan kedua tanganku, tapi belum bisa amblas meskipun separohnya sudah mulai masuk dan kurasakan senti demi senti melejik ke dalam, apalahi gerakan pinggul dan tangan Sri tidak mau berhenti. Aku sebenarnya masih ingin menikmati permainan kami dengan lama sekali, tapi tiba-tiba terpikir akan terbangun istriku karena suara kaki kursi plastik yang selalu bergerak-gerak seiring dengan gerakan kami, maka aku konsentrasi lagi untuk menuntaskannya dengan segera. Gerakan pinggulku mengikuti gerakan pinggul Sri dan kami saling menekan masuk hingga akhirnya bisa amblas seluruhnya. Bunyi decak, decik, decukk, cak.. cikk.. cukk pun cukup menyela keheningan malam itu, yang membuat aku semakin khawatir istriku terganggu dan terbangun, sehingga kami mengatur kembali gerakan.

Meskipun pakaian kami hanya terbuka sedikit sekali dan gerakan serta suara kami sangat terbatas, namun cukup bisa kami nikmati permainan kami itu. Bahkan belum pernah kurasakan kenikmatan seperti itu dari istriku. Mungkin karena ini hasil curian atau karena ketidak leluasaan kami yang membuat permainan kami lebih nikmat dan lebih berkesan. Kembali lagi Sri menghentak-hentakkan pantatnya ke pahaku seiring dengan keluar masuknya penisku ke dalam vaginanya, bahkan ia seolah tak sadarkan diri lagi dan gerakannya semakin dipercepat ketika aku mencoba mengangkat sedikit pantatku agak masuknya lebih dalam lagi.

Tanpa berkata apa-apa, Sri terasa gemetar sekujur tubuhnya dan keringatnya yang bercampir dengan keringatku jatuh membasahi kursi tempat dudukku. Akupun mengerti kalau Sri sudah berada di ambang pintu kenikmatan yang luar biasa, maka aku mencoba menahan cairan hangat yang juga mulai terasa menjalar ditubuhku dan mendesak mau keluar lewat penisku. Sri tiba-tiba merangkulku dengan keras, menggigit sedikit bahuku dan mencakar-cakar punggungku, lalu terasa lemas lunglai.

Ketika Sri terasa lemas seolah kehabisan tenaga, aku yakin kalau ia sudah melewati klimaksnya. Kini giliranku untuk mencapainya, lalu aku segera mengangkat tubuh Sri dan memutar sehingga posisi membelakangiku. Mau tidak mau ia terpaksa pegangan di didinding kamar, lalu kutekan sedikit kepalanya agar ia lebih nungging lagi. Setelah terlihat lubang kenikmatannya dengan jelas, aku segera arahkan penisku masuk ke dalamnya dan menekannya agar masuk lebih dalam, lalu kugenjot dengan keras dan cepat bolak balik maju mundur hingga akupun merasakan ada cairan hangat yang kental tumpah ke dalam lubang kenikmatan Sri.

Aku sengaja dan tidak takut akibatnya, sebab zat Sri yang bakal membuahi sudah keluar sejak tadi, sehingga tidak mungkin bisa ketemu dan terbuahi. Hal itu kuyakini sesuai praktek kami bersama istri selama ini. Setelah kami sama-sama mencapai puncak kenikmatan, kami lalu berpelukan sejenak dan saling memberi kecupan sebagai tanda terima kasih dan saling puas. Tanpa menunda waktu sedetikpun, kami segera memperbaiki kembali posisi pakaian kami masing-masing seperti semula lalu duduk sejenak sambil berpandangan dengan senyum puas dan bahagia yang kami rasakan.

Kami sudah tidak konsentrasi lagi terhadap karya ilmiah dan penelitian yang sedang kami proses. Bahkan sebelum istriku bangun, Sri minta izin untuk pulang, tapi aku sempat membisikkan sebuah kalimat di telinganya.

"Sudah mengerti yang namanya selingkuh sayang? Inilah bukti selingkuh yang sebenarnya dan data inilah yang paling otentik dari semua hasil penelitian kita, karena sama sekali bukan rekayasa melainkan betul-betul berdasarkan fakta dan pengalaman nyata kita sendiri," bisikku sambil memberi ciuman terakhir dan merangkulnya sekali lagi dengan eratnya.

Sri hanya membalas dengan senyum dan sedikit cubutan di pinggangku. Sri pun melangkah keluar lalu naik ke motornya seolah penuh bahagia.

*****

Bagi teman-teman yang tertarik dengan kisah nyataku ini, silahkan ikuti perkembangannya, sebab boleh jadi pengalaman ini akan berlanjut terus. Peristiwa yang kuceritakan ini baru awal dan pemanasan, karena hanya kebetulan dan kesempatan kami sangat sempit. Karena itu, meskipun kami belum janjian untuk mengulanginya, tapi mesti kami usahakan mengulangi dalam waktu singkat di tempat yang lebih aman, bebas dan waktu yang tak terbatas. Apalagi karya ilmiahnya masih sementara dalam proses, sehingga kami akan terus berkomunikasi dan saling memberi kenikmatan.

Ke bagian 3

Halo teman-teman para penggemar cerita sumbercerita.com, kembali aku menjumpai anda semua guna melanjutkan kisahku minggu lalu sebagaimana yang telah kujanjikan tentang penelitian karya ilmiah bersama Sri soal arti selingkuh yang sebenarnya.

*****

Setelah kubuktikan pada Sri di kamar kerjaku tentang arti selingkuh yang sebenarnya sesuai judul penelitian karya ilmiahnya, kami memang sepakat untuk mengulanginya kembali dalam waktu singkat di tempat yang lebih memberi ruang keleluasaan. Hanya berselang sepekan, tepatnya Hari Sabtu Sore, aku ke rumah Sri setelah sebelumnya Sri menelponku agar datang ke rumahnya menerima seluruh biaya penyusunan karya ilmiahnya meskipun penyusunannya belum tuntas 100%. Istriku yang menerima telpon itu nampak gembira dan meminta saya agar segera ke rumah Sri menerima uangnya, apalagi istriku saat itu sangat membutuhkan uang belanja.

"Silahkan masuk kak, pintunya tidak terkunci kok" teriak Sri dari dalam rumah setelah aku mengetuk pintu rumahnya.

Ia seolah menunggu dan lebih dahulu melihat kedatanganku.

"Selamat sore Sri" ucapanku setelah kubuka pintu rumahnya.
"Silahkan duduk kak, tidak usah malu-malu. Saya hanya sendirian kok" kata Sri setelah aku berdiri di ruang tamunya seolah ia sengaja agar aku tidak segan-segan bertindak dan berbicara dengannya.
"Ke mana semua keluarga Sri? Kok kamu berani sendirian di rumah?" tanya aku ketika sedang duduk di kursi sofanya yang empuk itu.
"Mereka semua jenguk nenek yang sedang sakit di kampung kak," katanya.
"Tapi adik Sri memang terbiasa ditinggal sendirian di rumah?" tanyaku.
"Wah itu soal biasa kak. Khan nggak ada yang ditakutkan sebab di sini cukup aman, lagi pula di lingkungan ini cukup ramai" jawabnya lagi.

Setelah aku berbincang panjang lebar soal umum dan soal pribadi Sri serta keluarganya sambil menikmati hidangan kue yang sejak tadi menunggu di atas meja, Sri lalu memandangku dengan tajam, lalu mekangkah ke dekat pintu dan menguncinya rapat-rapat. Aku hanya terdiam sambil memperhatikannya. Dalam hati kecilku bertanya ada maksud apa Sri memanggilku ke rumahnya setelah kedua orangtua dan keluarga lainnya di rumah itu sedang tidak ada. Jangan-jangan ia menipuku atau ingin melanjutkan peristiwa singkat dalam kamar kerjaku minggu lalu itu.

"Kak, kita ke atas yuk, di sini nggak aman dan bebas kok, sebab sedikit-sedikit ada tamu yang datang jika mereka ketahui ada orang di dalam rumah. Maklum bapak khan pengusaha yang luas jaringannya" kata Sri lembut sekali setelah menutup pintu dan mencabut kabel telpon rumahnya dari pesawatnya.

Ia segera menarik tanganku dan menuntunku ke lantai atas rumahnya di mana kamar belajarnya berada. Aku hanya menuruti apa yang dimintanya, lagi pula aku senang dan gembira mau terima uang dari Sri, yah syukur-syukur jika ia bersedia memberi bonus khusus buatku.

Setelah aku dipersilahkan duduk di kursi yang ada dalam kamarnya, Sri lalu duduk di atas rosbannya yang cukup rapi dan tertata dengan seprei berwarna biru yang dihiasi sulaman kembang berwarna kuning emas. Baunya yang harum menyengat ke hidungku hingga aku terpesona dan sedikit menikmati suasana damai, tenang dan bahagia dalam ruangan itu seolah mengingatkanku di malam pertama ketika aku masih pengantin baru.

Sore itu aku hanya termangu memperhatikan suasana yang ada dalam kamarnya tanpa aku banyak bicara. Sesekali memperhatikan tubuh Sri yang terbungkus baju warna putih dengan celana kain setengah panjang yang agak tipis namun indah dan bersih sekali lagi harumnya yang tidak mau hilang di hidungku. Aku sangat berat, segan dan malu diperlakukan seperti raja oleh Sri, apalagi selaku orang yang punya istri, tentu takut bertingkah macam-macam di depan Sri yang serba istimewa.

"Sri, aku tidak bisa lagi menggambarkan bagaimana perasaanku saat ini berada dalam kamar bidadari. Sungguh aku mempunyai keberuntungan luar biasa bisa kenalan dan berhubungan dengan adik. Aku diperlakukan seperti raja diraja. Aku sangat menyesal kawin terlalu cepat" ucapanku mengagumi segala apa yang kurasakan saat itu.

Mendengar ucapanku itu, Sri hanya menatapku tajam sambil tersenyum sesekali pandangannya turun ke arah selangkanganku. Aku bisa membaca maksiud isi hatinya, tapi aku tetap pura-pura bersikap pasif. Sri seolah tidak memperlihatkan rasa malu, segan dan takut lagi di depan saya setelah ia mengetahui kebejatan moral saya. Bahkan nampak ia lebih berani dan lebih aktif di depanku.

"Kak, aku tidak pernah menyangka bisa menikmati hubungan sex bersama dengan orang yang selama ini kukagumi. Aku sebenarnya bahagia tapi sekaligus menyesal karena kehormatan dan keperawananku terpaksa kuserahkan dan dinikmati oleh suami orang lain yang tidak mungkin bisa kumiliki sepenuhnya. Padahal pria yang kusayangi selama ini berkali-kali mendesak dan meminta tapi aku tetap mempertahankannya dengan alasan melanggar norma-norma agama, nanti setelah nikah dan berbagai macam alasan lainnya. Kenapa ini terjadi Kak dan kenapa bukan pada saat Kak masih bebas menentukan pilihan? Kenapa kak, kenapa dan kenapa.." tiba-tiba Sri berbicara terbuka, panjang lebar dan penuh dengan kesedihan.

Dengan suara tangis terisak-isak yang ditandai air mata membasahi pipinya, aku yakin Sri sangat menyesal dan tidak mampu menolak keinginan bejatku ketika aku menunjukkan bukti perselingkuhan di kamarku ketika itu. Ia berkali-kali berteriak mempertanyakan nasibnya sambil memeluk dan mencium pipiku sehingga bahu dan pipiku juga ikut basah oleh air matanya.

"Sri, aku mohon maaf Dik sayang. Aku khilaf ketika itu dan aku terlalu bernafsu melihat kecantikanmu. Apalagi sikap kelemah lembutanmu di depanku membuatku terangsang, karena hal seperti sulit kudapatkan dari istriku yang sedikit keras dan kasar sikapnya. Sekali lagi maaf dik, aku juga ikut menyesali sikapku yang kurang ajar dan kurang mengerti diri. Maukah kamu memaafkan kesalahanku sayang..?" kataku menyampaikan rasa penyesalanku sambil mengelus rambut dan pipinya yang masih bersandar ke bahuku.

Cukup lama kami saling merangkul. Namun di sela-sela rangkulan itu, kami seolah tersengat seteron listrik. Kami bukan menyesali dan menghindari terulangnya peristiwa itu, malah kami saling berpagutan tanpa kuketahui siapa yang memulai. Sri lahap sekali mencium dan mengisap bibir dan lidahku. Akupun memberikan sambutan yang sama. Tangan kami saling bergerak lincah menggerayangi tubuh masing-masing secara berlawanan. Kali ini, sedikitpun tidak ada rasa malu, ragu dan takut ada orang lain yang mengetahuinya, sebab pintu rumah Sri terkunci rapatb dan kamipun berada di lantai atas sehingga suara kami sulit terdengar oleh orang lain sekalipun kami berteriak keras.

Meskipun aku sedikit sadar dan mengingat apa yang baru kami sesali, namun aku sengaja tidak mau mengingatkan Sri, sebab aku lagi senang dan juga hal seperti ini sudah terlanjur kami lakukan. Tanpa kusadari, Sri sudah membuka kancing bajuku dan melepaskan dari tubuhku. Ia menyerang sangat lincah dan seolah lupa segalanya. Ia menyapu seluruh tubuhku dengan ciuman dan jilatan, mulai dari wajah, dagu, leher, bibir dan mulut hingga ke pusar. Tangannya sangat aktif merangkul dan meraba-raba tubuhku hingga masuk ke selangkanganku dari atas ke dalam celanaku. Akupun tidak mampu menahan tangan yang sejak tadi bergerak-gerak ingin memegang benda-benda kenyal dan langkah ditemukan di pasaran yang ada pada tubuh Sri. Meremas-remas kedua payudara Sri yang masih keras dan ukuran sangat sederhana, membuka kancing baju dan BH serta mengelus-elus kelentit Sri yang mungil lagi keras adalah menjadi aktifitas khusus kedua tangan saya tanpa komando dari siapa-siapa. Semua ini kami lakukan dalam keadaan berdiri di depan tempat tidur Sri.

"Kak, cepat kak. Aku sudah tak tahan lagi. Ayo Kak cepat," bisik Sri berkali-kali di dekat telingaku.

Nafasnya terasa hangat sekali dipipiku.

"Sabar sayang, aku akan memberikan kenikmatan luar biasa hari ini. Kali ini kita bebas, aman dan tak ada gangguan sedikitpun untuk menikmati segalanya. Sabar sayang.. Aku pasti memuaskanmu" bisikku sambil melonggarkan ikat pinggangku agar Sri mudah memasukkan tangannya.

Sri nampaknya tidak sabar lagi. Ia kali ini menurunkan celanaku lalu menarikku naik ke atas tempat tidur setelah aku betul-betul telanjang bulat. Aku turuti saja kemauannya, bahkan setelah ia duduk di pinggir tempat tidur, aku segera menarik celananya turun hingga terlepas semua dari tubuhnya. Kini kami berpelukan dalam keadaan bugil tanpa sehelai kainpun di tubuh kami. Aku merebahkan tubuhnya ke atas kasur dengan kedua kaki tetap tergantung namun kedua pahanya agak terbuka, sehingga terlihat dengan jelas vaginanya yang basah, bersih dan agak montok, bahkan biji yang tumbuh di sela-sela lubang kemaluannya itu nampak menantang dan indah.

"Ayo kak, masukkan cepat kak. Aku ingin sekali menikmati burungmu itu. Aku sangat ketagihan. Cepat kak, ayo kak," kembali Sri meminta aku memasukkan penisku ke dalam kemaluannya yang sudah basah dan sedikit terbuka itu.

Berkali-kali ia memintaku dengan nafas terengah-engah seolah sesak. Bahkan kali ini ia meraih penisku dan menuntun ke arah memeknya, tapi aku tetap menahannya dan mermbiarkan ia semakin penasaran agar kami bisa bermain lebih lama di kamarnya. Berkali-kali pintu rumahnya terdengar diketuk-ketuk orang, tapi Sri tetap tidak peduli. Ia yakin kalau itu hanya tamu bapaknya, sementara bapaknya besok baru pulang karena baru tadi siang berangkatnya. Ia konsentrasikan dirinya pada kenikmatan yang ia harapkan segera kuberikan. Setelah aku puas memainkan lidah, bibir dan mulutku pada seluruh tubuhnya, terutama pada rongga mulut, payudara dan rongga kemaluannya, lalu secara pelan-pelan ujung penisku menyentuh bibir vaginanya, sehingga pinggulnya terangkat-angkat secara otomatis dan sesekali merangkul pinggulku dan menariknya turun, namun tetap kupertahankan untuk tidak terburu-buru.

Karena lincahnya menggerakkan dan memutar pinggulnya kiri kanan, maka pertemuan kedua benda asing itupun sulit dihindari. Bahkan secara tidak sengaja kepala penisku masuk dan nempel ke lubang vaginanya bagaikan ditarik oleh sebuah magnit. Akupun rasanya sulit lagi memancing dan menarik keluar, sehingga perlahan tapi pasti ujung penisku menyelusup masuk sedikit demi sedikit hingga amblas seluruhnya. Gerakan refleks pinggul kami secara otomatis berputar dan maju mundur mengikuti aliran kenikmatan yang kami rasakan masing-masing. Suara desiran dan lenguhan dari mulut kami berdua tidak bisa lagi tertahankan sebagai pertanda kami mengalami kenikmatan yang tiada taranya.

"Auh.. Uuuhh.. Ssstt.. Aduhh.. Aakhh.." suara itulah yang senantiasa mewarnai kesunyian dalam ruangan itu. Untungnya suara kami tidak dapat terdengar oleh tetangga Sri, sehingga keluar secara bebas mengikuti alur kenikmatan tanpa kami mengontrolnya.

"Kak, aku nikmat sekali. Gocok terus kak. Jangan berhenti, aduhh.. Ahkhkh.. Uhh.. Mmmhh" ucapan Sri ketika aku semakin mempercepat gerakan pinggulku dan sesekali berhenti sejenak karena capek.

Namun, gerakan maju mundur sulit sekali kami lakukan karena kedua kaki Sri melingkar kepunggungku dengan eratnya, sehingga aku hanya mampu memutar kiri kanan. Tangan Sri terus merambah ke seluruh tubuhku, bahkan terkadang menjambak rambutku. Sementara tanganku juga bergerak terus mencari sasaran yang lebih nikmat. Kadang meremas-remas kedua payudara Sri dengan kerasnya dengan maksud agar Sri mau menurunkan kedua kakinya yang melingkar, tapi tetap saja seolah sudah diikat.

"Kak, rasanya aku mau keluar. Aku tak mampu menahan lagi. Biar yah kak? aahh.. Ukhh.. Iiihh.. Mmmhh.. Aaakhh" kata Sri dengan suara seolah tidak ditahan-tahan lagi.

Aku hanya mengangguk sebagai tanda persetujuanku. Ia sedikit berteriak ketika aku berusaha mendorong keras penisku sehingga terasa menyentuh benjolan daging dalam rahimnya. Bersamaan dengan gerakan cepat dan kerasku itu, sekujur tubuh Sri terasa gemetar. Tangannya dengan keras menjambak rambutku serta mencakar-cakar punggungku. Namun hal itu tidak berlangsung lama, karena saat itu pula kurasakan ada cairan hangat menyelimuti seluruh batang penisku, lalu ia melepaskan jepitan kedua kakinya di punggungku dan jatuh dengan lemas ke lantai bersamaan dengan melemasnya seluruh tubuhnya. Aku kira ia pingsan, tapi setelah kurasakan nafas dan detak jantungnya yang keras, aku yakin kalau ia hanya capek dan setengah sadar akibat kenikmatan.

Ke bagian 4 Setelah Sri tidak berdaya lagi, aku berdiri lalu mengangkat kedua kaki Sri ke atas tempat tidur sehingga terlentang, meskipun penisku belum menumpahkan cairan kenikmatan yang kental, namun aku biarkan saja dulu Sri istirahat karena waktu masih panjang yakni baru jam 7.30 malam. Kami berada di rumah itu sekitar 3 jam lebih. Alasan keterlambatanku pada istri, bisa kupikirkan sebentar setelah aku menyelesaikan tugas utamaku di kamar Sri. Sambil Istirahat, aku membakar sebatang rokok, biar lebih santai dan sedikit bijaksana pada Sri yang terlalu capek.

Sepuluh menit kemudian, aku semakin penasaran ingin merasakan nikmatnya jika penisku masuk dan memuntahkan peluru ke dalam vagina Sri. Aku sengaja bermaksud memuncratkan spermaku ke dalam vagina Sri karena pengalamanku menunjukkan lebih nikmat dibanding muncrat di luar, apalagi aku tidak takut dibuahi oleh zat telur Sri, karena ia sudah keluar duluan. Karena itu, niatku hanya memuaskan diriku sendiri dengan cepat setelah Sri mengalaminya, agar ia tidak tambah capek lagi.

"Maaf kak, aku tertidur. Kukira Kakak juga tidur. Aku betul-betul tidak sadar tadi. Mungkin karena terlalu dibuai kenikmatan" kata Sri padaku ketika ia terbangun dan melihatku memainkan puting susunya dengan mulut dan tanganku secara bergantian.

Aku sangat terangsang memandang seluruh lekuk-lekuk tubuhnya yang telanjang bulat sejak tadi sambil mengisap rokokku. Setelah Sri memeluk tubuhku dan mencium pipiku, ia bertanya:

"Apakah Kak juga merasa puas seperti aku?" tanya Sri serius.
"Aku puas menikmati tubuhmu dik, cuma aku belum sampai ke puncaknya" jawabku sambil memeluk Sri dan meletakkan paha kananku menindis vagina montoknya yang belum banyak ditumbuhi bulu-bulu itu.
"Jadi Kak mau lanjutkan untuk menuju ke puncak sekarang" tanya Sri sambil tersenyum, lalu kembali memelukku dengan erat.
"Sebelumnya aku mohon maaf Dik Sri. Banyak sekali teknik dan gaya sex yang ingin kutunjukkan padamu, tapi kulihat Sri sudah terlalu capek dan sudah cukup menikmati perselingkuhan kita hari ini, maka aku rasa adik tidak keberatan jika ronde kedua ini hanya untuk kenikmatan pribadiku" kataku hati-hati pada Sri agar ia tidak tersinggung.
"Terima kasih Kak atas kebijaksanaannya. Aku justru senang dan merasa berkewajiban melayani Kak hingga puncak kepuasan. Masa sih aku senang sendiri membiarkan Kak pulang dengan rasa penasaran tanpa kesan puas" kata Sri pasrah, bahkan merasa berkewajiban untuk memuaskanku.
"Terima kasih Dik atas kesediaannya, mm.. Cup.." kataku lalu mengecup bibirnya berkali-kali sebagai tanda kegembiraanku.

Burung kenikmatanku yang berdiri mengacung sejak tadi, seolah memaksa tanganku untuk membalikkan tubuh Sri ke posisi nungging. Sri pun pasrah menerima tindakanku. Namun karena ia masih lemas, ia hanya bisa rapatkan wajahnya ke kasur dengan pantat diangkat tinggi-tinggi. Kali ini aku tidak banyak mempermainkan tubuhnya, karena aku memang tidak bermaksud memuaskannya. Kebutuhanku cuma satu yaitu menumpahkan spermaku ke dalam vaginanya. Penisku yang berdiri keras segera kuarahkan masuk ke lubang vaginanya dari belakang dan ternyata bisa masuk dengan mudah karena posisi pinggulnya terangkat tinggi-tinggi lagi pula masih sedikit basah sebab belum sama sekali ia melapnya sejak peristiwa yang baru ia alami.

"Kak, agak sakit kak. Aku kurang enak melakukan posisi seperti ini. Gimana kalau Kak tidur terlentang lalu aku yang aktif menduduki burung kak? Nggak keberata khan?" tawaran Sri seolah tidak suka nungging.
"Tidak masalah dik. Posisi apa saja asalkan Kak bisa muncrat" kataku sambil mengeluarkan penisku dari dalam vaginanya dan terus tidur dengan sedikit mengganjal pinggulku dengan bantal kepala agar posisi penisku bisa lebih ke depan dan terasa lebih panjang masuk ke vaginanya.

Sri mulai mengangkangiku sambil menguak kedua bibir vaginanya dengan kedua tangannya, sementara aku membantu mengarahkan penisku agar lebih mudah masuknya. Ternyata betul, tanpa kesulitan sedikitpun, penisku masuk menyelusup damn amblas seluruhnya. Aku tidak tahu apakah Sri juga bisa merasakan kenikmatan atau tidak, tapi aku merasa nikmat sekali. Penisku terasa seolah dipijit dan diurut oleh sesuatu benda halus dan hangat.

Loncat-loncat sambil memutar pinggulnya nampaknya sudah jadi aktifitas khusus bagi Sri saat itu. Kepalanya melenggok kiri, kanan, maju dan mundur dengan rambut terurai. Nafas terengah-engah pertanda capek. Aku hanya membantu dengan mengangkat pinggul mengiringi gerakan pinggulnya. Sri nampaknya memaksa kekuatannya untuk memuaskanku semakin lama semakin cepat gerakannya. Beberapa menit kemudian, aku mulai ada tanda-tanda mau muncrat. Terasa dari cairan hangat mulai mendesak keluar seolah mengiringi aliran darahku. Tubuhku mulai mengejang yang dibasahi keringat.

Semakin lama, semakin cepat dan semakin keras gerakan Sri, rasanya semakin mengejang pula seluruh saraf-saraf kenikmatanku. Cairan hangat yang terasa dari ujung perutku semakin sulit ditahan dan dibendung, apalagi aku tidak bermaksud menahannya sebab itulah yang ketunggu-tunggu sejak tadi.

Suara "Auh.. Uuukkhh.. Aiihh" itulah yang senantiasa terdengar dari mulutku, sementara Sri hanya terdiam, namun tidak pernah berhenti bergerak dan bergoyang pinggul di atasku.

"Sri, terus, cepat, semakin keras lagi, ayo terus," pintaku dengan napas terputus-putus pada Sri.

Namun baru aku mau minta izin pada Sri agar aku bisa keluarkan spermaku ke dalam vaginanya, sperma itupun tumpah dengan sendirinya tanpa bisa lagi ditunda setapak pun. Bersamaan dengan itu, aku mengangkat pinggulku dan kepalaku untuk merapatkan tubuhku pada Sri dan meraih kedua payudaranya yang loncat-loncat dengan indahnya sejak tadi serta menarik-nariknya dengan keras. Namun Sri membiarkanku, bahkan ia mulai juga melenguh seolah merasakan suatu kenikmatan. Baru aku mau melemaskan seluruh otot-ototku yang sejak tadi kejang-kejang akibat kenikmatan luar biasa, tiba-tiba Sri menyelusupkan tangannya masuk ke selangkangannya dan memegang penisku yang sedikit mulai loyo seolah ia belum mau keluarkan dari vaginanya. Aku tersentak kaget, karena aku tidak bermaksud membebaninya dengan kenikmatan lagi, apalagi jika sampai terangsang lagi. Bisa-bisa zat kelaminku dibuahinya.

Setelah kuyakini kalau Sri juga mulai terangsang, aku justru khawatir ia bisa kecewa jika tidak bisa sampai ke puncaknya. Aku sama sekali tidak menyangka hal itu bisa terjadi di saat-saat kekuatanku habis terkuras. Aku tidak memiliki lagi modal untuk memuaskannya. Untung saja aku bisa sedikit memaksa agar penisku bertahan di tempatnya mumpun masih ada sisa-sisa cairan di dalamnya sehingga masih sedikit berdiri. Aku membantunya memegang terus dan tidak banyak bergerak agar tidak terlepas dari mulut vaginanya.

Dengan bantuan jari tengahku, aku gerak-gerakkan penisku ke dalam vaginanya dan ternyata Sri bisa menikmatinya. Untung saja Sri sudah berada di ambang pintu kenikmatan sehingga aku tidak perlu terlalu lama memainkan tanganku, apalagi ada kekhawatiran Sri akan kecewa jika aku berhenti tanpa ia puas. Iapun merapatkan wajah dan tubuhnya di atas dadaku sebagai tanda kepuasannya. Aku kembali lega dan bahagia karena ia bisa kembali merasakan kenikmatan kedua kalinya.

Setelah kami bangkit dari tempat tidur itu dan selesai membersihkan kemaluan kami, bahkan mandi bersama dalam kamar mandi khususnya, aku lalu kembali duduk di kursi. Sementara Sri duduk di atas pangkuanku sambil melingkarkan tangannya ke leherku dalam keadaan kami masih bugil

Entah bagaimana pikiran Sri ketika itu, tapi aku tak pernah berhenti memikirkan kalau-kalau Sri hamil, apa jadinya nanti. Kami bisa malu seumur hidup, apalagi jika ketahuan orang banyak.

"Kak, kenapa termenung? Apa Kak kecewa dan tak puas atas layananku tadi atau menyesal memenuhi panggilanku ke sini?" tanya Sri saat aku terdiam sejenak memikirkan akibat perbuatan kami. Teguran Sri membuatku kaget.
"Tttitidak, aku hanya takut kamu tidak puas dan kecewa tadi" alasanku.
"Saya tahu yang Kak pikir, pasti takut aku tidak bayar biaya penyusunan karya ilmiah itu, yah khan?" kata Sri mencoba menebak isi pikiranku.
"Bukan itu dik, aku sama sekali tak pikir ke situ. Lagi pula aku berat dan malu memikirkan hal itu setelah Sri memberiku segalanya" kataku.
"Lalu apa yang Kak pikirkan? Jangan-jangan Kak takut dimarahi istrinya. Jangan khawatir kak, khan masih belum larut malam. Kak bisa buat alasan yang bisa meyakinkan istrinya. Masa sih dekat istri Kak bisa selingkuh denganku, lalu hanya soal pulang terlambat tidak bisa diakali" katanya.

Setelah puas bercumbu rayu di atas kersi, kami lalu sama-sama bangkit dan mengenakan pakaian. Setelah itu, Sri menarik laci mejanya dan mengeluarkan sejumlah uang dari dompetnya lalu menyodorkanku. Setelah beberapa kali kutolak dan kusampaikan rasa beratku, akhirnya aku ambil juga uang itu setelah aku tak berdaya menolaknya. Setelah kuhitung, justru lipat dua kali lebih banyak dari kesepakatanku semuka. Aku berusaha mengembalikan sisanya, tapi ia tetap memaksaku mengambilnya. Berkali-kali kuucapkan terima kasih dan berjanji akan mengenang jasa-jasa baiknya itu, tapi ia hanya senyum, lalu berkata:

"Kak, tolong jangan menolak pemberianku. Aku memberimu itu semata-mata karena bahagia, senang dan bangga bisa menikmati sex pertama kali dari pria yang sebenarnya sangat kukagumi, apalagi mau membantu dalam proses penyelesaian kesarjanaanku. Malah itu belum cukup kak" katanya padaku.

Kami saling berjanji akan memperaktekkan semua posisi sex di lain waktu dan sebelum aku pamit, ia memintaku agar aku menemaninya malam itu agar kami bisa mengulangi hubungan sex kami beberapa kali lagi. Tapi setelah kuutarakan resikonya pada istriku, akhirnya ia mengerti dan mengizinkan aku pulang agar perselingkuhan kami tidak bocor. Bahkan sebelum aku keluar dari pintu rumahnya, ia sempat menciumku dan berkata:

"Kalau aku hamil atau tidak ada laki-laki yang mau mengawiniku akibat hubungan kita ini, apa Kak mau tanggungjawab mengawiniku?" tanya Sri seolah main-main karena ia ucapkan sambil tertawa.

Namun hal itu bisa saja terjadi sewaktu-waktu. Setelah aku kaget dan merenung sejenak:

"Apa boleh buat dik, itu namanya resiko yang dipertanggungjawabkan. Mudah-mudahan tidak terjadi dik, malah aku akan tanggungjawab carikan jodohnya dengan cepat ha.. Ha.. Ha," jawabku sambil ketawa lalu pergi.

Setelah aku sampai di rumah, aku langsung menyerahkan uang itu pada istriku dan ia gembira sekali karena jumlahnya melebihi kebutuhan mendesaknya. Iapun sempat bertanya soal keterlambatanku pulang, namun seolah tak serius. Aku hanya beralan kalau ayahnya Sri memintaku bincang-bincang soal kemudahan penyelesaian kesarjaan anaknya, meskipun semua itu kebohongan belaka agar ia tidak curiga. Aku lalu ke tempat tidur dan aku memang tidur dengan pulas karena kelelahan.

*****

Bagi teman-teman yang tertarik kisahku ini, silahkan ikuti terus lanjutan kisah seruku bersama Sri, karena hal ini nampaknya agan berlanjut beberapa kali lagi atau jika mau kenalan denganku, dapat menghubungi emailku.

E N D









Nama baru untuk Anda!
Dapatkan nama yang selalu Anda inginkan di domain baru @ymail dan @rocketmail.
Cepat sebelum diambil orang lain!